Iklan

https://www.serikatnasional.id/2024/10/blog-post.html

Iklan

,

Iklan

GMNI Komisariat Uniba Menilai Pasal Berpolemik KUHP sebagai Bentuk Kemunduran Demokrasi

@SerikatNasional
30 Des 2022, 20:10 WIB Last Updated 2022-12-30T13:12:13Z


Dewan Pengurus Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Universitas Balikpapan (DPK GMNI Uniba) menyambut baik adanya pembaharuan yang terjadi dalam kodifikasi Hukum Pidana Indonesia melalui KUHP yang baru disahkan 6 Desember 2022 lalu. Akan tetapi, DPK GMNI Uniba menolak hadirnya pasal-pasal anti demokrasi yang dinilai memiliki tendensi untuk mengkriminalisasi rakyat yang berani mengkritik kinerja para pemangku kebijakan atau Pemerintah.


Beberapa pasal yang paling disoroti adalah pasal Penghinaan Presiden, Penghinaan Lembaga Negara, serta pasal mengenai Penyebaran Berita yang Dianggap Hoax. Hadirnya beberapa klausula di pasal tersebut justru memperlihatkan bagaimana karakter pemerintahan hari ini yang cenderung takut untuk dikritik. 


Sebab dalam pasal-pasal tersebut mencantumkan hukuman pidana penjara sebagai konsekuensi hukumnya, Padahal jika kita berbicara perihal Hukum Pidana, itu merupakan ultimum remedium atau sebagai sarana terakhir yang ditempuh jika terdapat peristiwa hukum yang terjadi. Namun, berbeda halnya dengan pasal-pasal yang telah disebutkan di atas. 


Secara implisit, pasal tersebut justru memproyeksikan bagaimana hari ini negara sedemikian lemahnya hingga harus dilindungi dari kritik rakyatnya dengan memberlakukan pidana penjara bagi siapapun yang dinilai melanggarnya. Sampai hari ini, tidak terdapat limitasi yang jelas antara kritik serta hinaan sehingga kekaburan tersebut bisa menimbulkan multiinterpretasi di kemudian hari.


Jika berkaca pada Naskah Akademik KUHP, KUHP dibentuk dengan tujuan sebagai berikut, yaitu dekolonialisasi, demokratisasi, harmonisasi, serta konsolidasi. Akan tetapi, beberapa pasal di atas justru menggambarkan sebaliknya. Pasal perihal penghinaan Presiden pada khususnya, secara historis justru pernah diberlakukan Belanda dengan frasa “Raja” yang dulu diterapkan saat feodalisme masih mengalir kental di tengah-tengah masyarakat Indonesia. 


Selain itu, terlepas dari apapun jenis deliknya, pasal serupa pernah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 karena pernah pula digunakan untuk mengkriminalisasi kritik masyarakat akan kinerja perintah yang ditafsirkan sebagai sebuah hinaan. Padahal di sebuah negara demokrasi, kritik justru harus tetap hidup guna menjaga stabilitas dalam segala lini, ditambah lagi rakyat disini sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di sebuah negara.


Dengan semakin banyaknya penggunaan hukum sebagai alat pengendali sosial, maka hukum pada era kontemporer harus dapat disingkirkan dari pandangan kolot yang hanya menitikberatkan pada pemeliharaan ketertiban semata. Sehingga dalam penerapan hukum tak lagi menggunakan hukum represif yang mana kritik dari masyarakat dianggap sebagai bentuk ketidakpatuhan atas pemerintahan yang sah dan dapat berimbas pada pelanggaran hukum atau over criminalization.


Diindonesia yang saat ini penggunaan hukumnya ditujukan sebagai alat yang dapat mewujudkan keadilan sosial. Sudah selayaknya memberantas segala macam upaya yang kerap dimunculkan guna menekan meaningful participation dan dapat mengganggu keseimbangan dari ketiga domain, antara lain invidu, mayarakat, dan negara. Sebab kemerosotan dari kebebasan masyarakat dapat merupakan bentuk runtuhnya demokrasi di suatu negara.


Dengan demikian, GMNI Komisariat Uniba menilai lahirnya pasal tersebut justru sebagai bentuk kemunduran demokrasi yang menumpulkan suara rakyat karena tidak memiliki limitasi yang jelas antara hinaan dan kritik, berpotensi menimbulkan overkriminalisasi, dan watak rezim orde baru yang coba untuk ditampilkan kembali karena membungkam kritik dengan sebuah kebijakan ala Pemerintah yang tidak sepenuhnya mempertimbangkan kemanfaatan serta kepastian hukum bagi masyarakatnya. Watak hukum yang cenderung represif semacam ini harus selalu dikritisi sebab kita hidup di negara demokrasi.


Penulis: Dyah Ayu Pramesti (Wakabid Organisasi DPK GMNI UNIBA)