Artikel |Kemerdekaan merupakan suatu kondisi yang diimpikan oleh semua orang, baik merdeka secara fisik maupun psikis. Secara fisik kita memang telah memproklamirkan kemerdekaan sejak 76 tahun yang silam, tepatnya 17 Agustus 1945 yang diwakili oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Bangsa Indonesia telah berhasil mengusir penjajah Belanda angkat kaki dari bumi pertiwi yang kita cintai ini yang disambut dengan suka cita dan riang gembira di seluruh seantero negeri. Seiring perjalanan waktu, bangsa ini terus merayakannya setiap tahun dengan mengadakan upacara dan berbagai kegiatan lainnya. Di dada mereka hanya ada satu kata MERAH PUTIH, GARUDA JAYA atau BHINNEKA TUNGGAL IKA menuju INDOSESIA RAYA.
Tetapi pertanyaannya, apakah secara mental kita betul-betul merdeka? Tentu saja TIDAK dengan beberapa kajian sudut pandang nyata. Jika merdeka diartikan bebas dari belenggu penjajah, maka sesungguhnya psikis atau batin kita terus dijajah oleh berbagai kepentingan dan ambisi terselubung yang tak berkesudahan. Misalnya dalam atmosfir intelektual, banyak kita jumpai bahwa ternyata kita diperbudak oleh pemikiran-pemikiran orang lain atau lebih tepatnya, kita rajin copy paste milik orang lain tanpa menciptakan karya original kita sendiri.
Dalam kasus lain, sesungguhnya kita dihantui perasaan takut miskin, khawatir tidak mendapat kehormatan, menghamba pada jabatan, tertekan oleh kesangsian masa depan yang masih gamang dan sederet persoalan-persoalan lainnya.
Di bidang pergaulan, tidak jarang kita terhimpit oleh batu besar bernama kecurigaan, terkungkung kecemasan bahwa orang lain telah menutup jalan yang kita tempuh sehingga tak dapat berbuat apa-apa, pasrah pada kenyataan bahwa segala sesuatu sulit untuk dirubah, dibatasi oleh tembok besar keegoan untuk menerima orang lain dengan segala kelemahan dan kekurangannya. Akhirnya hari-hari kita jarang bahagia, penderitaan maha besar sepertinya hanya dirasakan oleh dirinya sendiri. Ia merasa putus asa bahwa inilah takdir yang harus diterima
Pemandangan yang senantiasa kita saksikan adalah masih banyak orang yang merasa paling benar, paling pintar dan menganggap orang lain hanya serpihan-serpihan yang harus dikucilkan dari panggung kehidupan, mengkhatamkan waktunya untuk bersusah-susah mengurusi kehidupan orang-orang di sekitarnya sampai tak ada lagi yang bersisa dan tak ada ruang melihat kelemahan dirinya dalam cermin besar kehidupan.
Maka orang-orang merdeka, adalah pribadi yang telah selesai dengan dirinya, sosok yang terlepas dari keinginan-keinginan rendah yang dapat menjerembabkan dirinya dalam kubangan kehinaan. Seperti kata orang sufi : "aku tak ingin punya keinginan." Pribadi yang merdeka adalah pribadi yang tak terikat oleh apapun kecuali pada kebenaran, ia berdiri di atas kerendahan sambil mengumandangkan pekik keagungan. Ia juga telah lupa pada dirinya hanya untuk menghamba pada kesejatian, mengabdi demi sebuah kemaslahatan.
Jiwa-jiwa merdeka adalah mereka yang tak pernah berubah meski zaman telah bersolek dengan segala rayuannya. Di dada mereka tak pernah ada rasa takut meski kekuatan menghantam, tak kenal sedih walau harga dirinya diinjak-injak dan diremehkan. Hanya kebahagiaan yang terpancar dari raut wajahnya. Allah berfirman dalam Surat Yunus ayat 62-64 :
اَلَآ اِنَّ اَوْلِيَاۤءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ
"Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati."
الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa."
لَهُمُ الْبُشْرَىٰ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
"Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar."
Pribadi yang merdeka tak pernah mengeluh karena dirinya terus bersyukur dengan apa yang diterima. Batinnya tak terpasung oleh hal-hal yang tak penting dan tak ada gunanya, menyibukkan waktunya dengan prestasi dan terus berupaya mengejarnya. Ia semacam burung yang bebas terbang di angkasa, ia adalah mutiara di kedalaman samudera, ia tak ubahnya bukit-bukit yang menjulangkan harapan yang dihiasi rumput hijau dan pepohonan rindang tempat berteduh bagi petualang yang kelelahan.
Kepribadian orang-orang merdeka laksana lirik-lirik kesyahduan yang menidurkan pengembala di padang kerontang. Ia bagaikan penari yang meliuk-liuk menarikan tarian gemulai yang menggairahkan. Ia sebagai mata air yang mengobati rasa haus dalam kembara panjang. Ia bukanlah budak yang terus dikuasai cengkeraman taring dan kuku bernama ketakberdayaan. Baginya kehidupan ini merupakan kanvas nyata yang mesti dilukis dengan sentuhan estetika. Ia selalu mengepung kemalasan agar tak bisa bergerak memperdaya hari-harinya sebab ia telah memproklamasikan gairah untuk terus tumbuh berkibar di padang jiwanya. Godaan baginya tak lebih dari sekedar angin lalu yang akan tertelan masa. Ia terus membuang duri untuk terus melangkah menyusuri jalan terjal untuk sampai di sebuah terminal mengagumkan. Rembulan cita-cita begitu kuat dan tajam menyinari gelapnya penyesalan. Ia menjadi energi pemberdaya yang membangkitkan sekujur kejumudan.
Masihkah kita mau dijajah hantu-hantu diri sendiri yang terus gentayangan atau kita telah mengukuhkan kemerdekaan di atas tugu kesementaraan menuju agungnya kesejatian? Jika begitu kitalah pribadi merdeka yang tak menunggu datangnya kematian atau kiamat menjelang.
Dirgahayu Indonesiaku 76
17 Agustus 2021