Jakarta-SerikatNasional.id | Aliansi Rakyat untuk Hak Perlindungan Sosial Mendesak Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini mencabut Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos) Nomor 92/HUK/2021 yang memangkas jumlah penerima bantuan iuran (PBI) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional- Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) senin, (25/10/2021) dalam acara dialog publik dengan tema “Polemik Penerima Bantuan Iuran (PBI): Menagih Komitmen Pemerintah Untuk Kesehatan Rakyat”.
Menurut Sekjend konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) Anwar Sastro Ma'ruf, Kepmensos tersebut memangkas sekitar 9,05 juta PBI, yakni dari 96,1 juta per 1 September 2021 menjadi 87,05 juta.
Ia juga menilai Kepmensos 92/2021 telah menghilangkan pemenuhan hak konstitusional warga negara kelompok rentan untuk mendapatkan hak layanan dasar kesehatan melalui JKN-KIS.
Dengan diterbitkannya Surat Bappenas dan Kepmensos terkait pengurangan jumlah PBI dinilai tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat maka akan menyebabkan persoalan-persoalan baru
Jumlah peserta PBI per 1 September 2021 sebanyak 96,1 juta jiwa, dari kuota PBI yang dibiayai APBN sebanyak 96,8 juta jiwa sebagaimana diatur dalam Kepmensos No. 1 Tahun 2021. Proses pembersihan data (cleansing data) adalah tanggungjawab Kementerian Sosial dengan mengacu pada PP No. 76 Tahun 2015, yaitu ada yang dikeluarkan dan ada yang didaftarkan baru.
Namun sejak awal tahun 2021 hingga saat ini, proses cleansing data tidak dilakukan pada dua sisi yaitu mengeluarkan dan mendaftarkan peserta baru di PBI. Yang ada hanya mengeluarkan masyarakat miskin sebagai peserta PBI, tanpa menambah lagi. Padahal angka kemiskinan di Indonesia meningkat. PBI eksisting yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah cq. Kemensos dari master file kepesertaan di BPJS Kesehatan. Bila dikeluarkan maka kepesertaan mereka akan non-aktif dan mereka tidak bisa lagi mendapat penjaminan dari program JKN.
Faktanya kebijakan ini telah menyebabkan persoalan di akar, apabila kita melihat SK Kemensos ini bukan lah pengurangan peserta dalam arti pengurangan kuota, tapi semata-mata mengurangi peserta yang data kependudukannya belum padan dengan dukcapil dan yang telah meninggal. Dapat dimengerti bahwa cleansing data ini sangat diperlukan untuk meningkatkan akurasi data penerima bantuan iuran, tetapi yang menjadi kekhawatiran adalah bagaimana proses pengisian kuota yang tersisa yang sangat lambat dan terkendala masalah teknis antara lain:
1.Kesiapan aplikasi Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial – Next Generation (SIKS-NG) Kemensos RI, saat ini aplikasi ini sering ditutup sehingga Dinas Sosial mengalami kesulitan untuk memasukan usulan data baru.
2.Masih sangat kurang kapasitasi Dinas Sosial dalam menggunakan aplikasi SIKS-NG
3.Dinas Sosial masih belum melihat jaminan sosial kesehatan melalui penerima bantuan iuran (PBI) sebagai program yang penting dalam pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk kesehatan sehingga tidak antusias dalam upaya mengisi kuota.
4.Terobosan yang diusulkan oleh BPJS Kesehatan dengan melakukan koordinasi bersama Kementerian Sosial RI kepada Pemerintah Daerah dalam hal pengisian kuota belum direspon.
Kondisi Pandemi covid 19 sejak Maret 2020 telah mengakibatkan banyak pekerja/buruh mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) menyebakan meningkatnya jumlah pengangguran dan semakin hancurnya daya beli masyarakat apalagi kemampuan untuk membayar iuran jaminan sosial kesehatan.
Dalam kesempatan yang sama Direktur Labour Policy Analysis and Advocacy (ELKAPE) German E. Anggent menjelaskan Apa yang terjadi dengan proses reaktivasi? tidak semudah yang disampaikan oleh Kementerian Sosial disamping persoalan teknis di sistem mereka, juga kendala kan dihadapi oleh peserta PBI yang telah non-aktif tetapi masih membutuhkan penanganan medis, karena syarat dan alur reaktivasi sebagai berikut:
Pasien mendatangi faskes, faskes diketahui bahwa pasien tersebut JKN nya NA, faskes menerbitkan "surat keterangan", Diajukan ke Dinas Sosial, diinput dalam SIKS-NG, Kemensos menerbitkan surat reaktivasi, ke kantor BPJS Kesehatan untuk diaktifkan.
Proses di atas akan mengalami kendala kesiapan dinas sosial dan waktu proses yang panjang menyebabkan seorang peserta PBI (non-aktif) yang sedang mengalami pengobatan akan kehilangan haknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, tentunya dapat membahayakan keselamatan jiwa (contoh pasien cuci darah, penderita thalassemia, penyandang disabilitas, rawat inap dll).
Selain itu, pengurangan kuota Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang diusulkan oleh BAPPENAS RI hingga tahun 2024 sebesar 40 juta jiwa, apakah sudah relevan dengan kondisi ekonomi Indonesia dan komitmen pemerintah terhadap jaminan sosial kesehatan – JKN KIS?.
Selain pandemi COVID-19, telah terjadi krisis iklim dan perubahan radikal industrialisasi di era digital atau revolusi industri 4.0. Hal ini berdampak luar biasa pada ruang hidup manusia dan alam semesta kita, semuanya menjadi rentan. Termasuk dalam hal akses terhadap pekerjaan yang berdampak pada pendapatan setiap warga negara. Masalah ketimpangan atau inequality juga semakin menganga. Maka sudah pasti setiap orang membutuhkan jaminan atau perlindungan sosial.
Sehingga menimbulkan permasalahan yang berdampak pada ketahanan atau kerentanan sosial masyarakat khususnya di bidang kesehatan sebagai layanan dasar yang dijamin oleh undang-undang.
Oleh karenanya kebijakan yang dilaksanakan melalui Kepmensos dan perencanaan Bappenas RI sudah kah melalui pertimbangan dampak yang ditimbulkan dari pengurangan Jumlah Penerima Bantuan Iuran (PBI) terhadap hak jaminan sosial kesehatan khususnya bagi kelompok masyarakat rentan?
1.Kesalahan pemerintah dalam hal pengelolaan administrasi kependudukan, seperti data ganda, esclusion error dll, mengapa rakyat pekerja yang harus dikorbankan?
2.Apakah kebijakan tersebut sudah memenuhi rasa keadilan Pasal 28H ayat (3) UU 1945, dan Pasal 14 UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN sebagai hak konstitusional ? Amanat Pasal 28H ayat (3) UU 1945. Menjamin “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.”, Amanat Pasal 14 yang mengamanatkan Pemerintah mendaftarkan dan membayarkan iuran masyarakat miskin ke BPJS Kesehatan. Amanat Pasal 21 (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN yang mengamanatkan bahwa (1) Kepesertaan jaminan kesehatan tetap berlaku paling lama 6 (enam) bulan sejak seorang peserta mengalami pemutusan hubungan kerja. (2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 6 (enam) bulan belum memperoleh pekerjaaan dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh Pemerintah.
3.Apakah kebijakan tersebut sudah mempertimbangkan keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-KIS) ?
4.Apakah sudah dibahas dampak dari kebijakan tersebut apabila gagal dalam upaya melindungi warga negara dari resiko sosial yang sekarang sedang terjadi akibat hilangnya lapangan pekerjaan dan ekonomi yang sedang turun? Langkah-langkah apa yang harus dilakukan dan tawaran solusi kongkrit apa saja untuk mendorong perbaikan demi keselamatan seluruh rakyat Indonesia? Atas nama kepentingan dan keselamatan seluruh rakyat Indonesia sangatlah mendesak untuk melakukan hal-hal yang dianggap perlu. Rakyat Indonesia dari semua sektor harus bersatu untuk memperjuangkan Hak Warga Negara, khususnya JKN dengan berbagai cara;
1.Membentuk Kaukus Perlindungan Sosial di Senayan (DPR RI) untuk perumusan kebijakan, pengawalan, pengawasan, yang menempatkan seluruh lapisan masyarakat (Serikat dan organisasi buruh, tani, nelayan, penyandang disabilitas, Akademisi, dll)
2.Mendorong DPR melakukan Raker Gabungan Komisi IX, dan Komisi VIII untuk menyelesaikan dan membuat kebijakan politik terhadap kebijakan Kemensos dengan memerintahkan mencabut Kepmensos 92/2021.
3.Presiden memerintahkan Mensos untuk mencabut atau memperbaiki Kepmensos 92/2021.
4.DJSN meminta klarifikasi terhadap Kepmensos 92/2021, untuk memperjelas peraturan tersebut tidak bertentangan dengan PP No. 76/2015.
5.Seluruh lapisan Masyarakat bersama Lembaga atau organisasi rakyat, segera melakukan advokasi bersama ke PTUN untuk mencabut Kepmensos 92/2021. Seperti MA mencabut pasal-pasal tertentu dalam Perpres JKN, No. 75/2019, terkait besaran iuran dan sebagainya.
6.Masyarakat Indonesia membangun gerakan kontrol rakyat, mendorong “universalitas”, dan “transparansi”; kebijakan dan pelaksanaan jaminan atau perlindungan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, memulai dari kontrol terhadap akses terhadap JKN – KIS. (Hamran)