Oleh: Bonavasius Sudir (Mahasiswa STKIP YPUP Makassar)
SerikatNasional.id | Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. Sistem pemerintahannya diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi tercermin dari terselenggaranya pemilihan umum (Pemilu). Sebagai bentuk pemerintahan, demokrasi bertolak belakang dengan monarki. Dalam sistem monarki, pemerintahan dipegang oleh raja, ratu, atau kaisar.
Sistem demokrasi juga berbeda dengan oligarki. Dalam pemerintahan oligarki, kekuasaan dipegang oleh beberapa orang. Demokrasi juga berseberangan dengan sistem aristokrasi, atau pemerintahan oleh kelas istimewah. Demokrasi juga beda dari despotisme, atau pemerintahan absolut oleh satu orang. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya. Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia.
Pemilihan kepala desa atau yang biasa kita sebut Pilkades merupakan salah satu bentuk pesta demokrasi rakyat di tingkat lokal (desa), yang diselenggarakan untuk memilih calon kepala desa terbaik versi masyarakat dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat menjadi bagian penting dalam proses pemilihan kepala desa dimana mereka berpartisipasi untuk memilih dan menentukan arah kemajuan bagi desa yang mereka tinggali.
Sehingga, pilkades menjadi suatu proses yang penting dijalani dalam mewujudkan prinsip demokrasi di negara kita serta bagi keberlangsungan jalannya pemerintahan di lingkup desa. Kontestasi Pilkades memiliki ciri khas dan karakteristiknya sendiri jika dibanding dengan Pilkada maupun Pilpres.
Mengingat pemilihnya yang notabene secara letak geografis saling berdekatan dan beberapa diantaranya memiliki hubungan kekerabatan dengan sang calon kepala desa. Hal ini mengakibatkan suhu dan tensi politik menjelang Pilkades cukup “memanas” karena berkaitan dengan tarik menarik dukungan dan kepentingan masing-masing kubu.
Jadi menarik ketika mengamati komunikasi poliitik dan strategi marketing politik yang dilancarkan masing-masing kubu demi “mendulang” suara sebanyak-banyaknya kepada calon pemilih. Segmentasi pemilih yang beragam juga turut berpengaruh dalam pola strategi yang digunakan timses masing-masing calon.
Lalu bagaimana dengan akun facebook palsu?, tidak hanya pemilihan kepala negara, gubernur, bupati, pemilihan kepala desa juga di warnai dengan maraknya akun palsu di lini masa media sosial. Akhir-akhir ini misalnya pemilihan kades Welu, Kec. Cibal, Kab. Manggarai, begitu banyak akun palsu yang menggiring opini publik, menyebar fitnah, bahkan isu sara.
Kemudian apa yang melatarbelakangi aku-akun bodong tersebut, apakah mendulang masa dukungan? Atau menghancurkan calon lain dengan cara menyebarkan fitnah?. Ini menjadi pertanyaan kita sebagai kaum awam. Sebab kehadiran akun-akun tersebut sulit juga mengetahui jejaknya.
Fenomena seperti ini memang tidak bisa dielakkan diera digital seperti saat ini, agar tidak mudah terprovokasi, kita dituntut melek teknologi, dan yang lebih penting telusuri betul akurasi informasi yang dishare oleh akun-akun tersebut. Poin pentingnya adalah,jangan mudah terpancing dengan isu yang belum tahu kebenarannya.
Kehadiran akun palsu ini merusak citra demokrasi dalam hal ini pemilihan kepala desa, belum tahu persis apakah di tugangi oleh calon tertentu. Akun palsu juga bagian dari product kampanye media sosial, namun caranya salah. Tidak lagi menyampaikan visi-mis, tapi malah menyerang pribadi seseorang, baik calon lain maupun sesama pendukung.
Akun palsu semakin menjadi-jadi ketika kita balas dengan fitnah. Oknum yang menggunakan akun palsu, bisa jadi orang 'Patah Pensil'.Namun tidak bisa di pungkiri bahwa orang yang sekolah sekali pun tetap tameng dengan akun palsu sebagai salah satu alat kampanye politik.