(Studi Kasus Selebriti Indonesia)
Penulis: Hengki Primana (Jurusan Ilmu Politik, FISIP UI)
Abstrak
Keterlibatan artis dalam dunia politik menimbulkan polemic. Banyak tanggapan menarik mengenai persoalan ini. keterlibatan artis di dalam dunia politik khususnya di partai politik guna menunjang elektabilitas dan popularitas dari partai. Dimana kaitannya ialah pada kepentingan partai pengusung pemilu yang dimana melibatkan artis sebagai strategi marketing politik supaya partai politik tersebut lebih dikenal orang. Namun strategi tersebut menimbulkan dampak pro dan kontra di dalam masyarakat. Dalam menganalisis permasalahan ini penulis menggunakan landasan teoritik Selebriti dan Politik Pragmatisme Partai Politik. Sehingga didapat beberapa kesimpulan diantaranya: pertama, ketidakpercayaan masyarakat terhadap kompentensi selebriti yang menjadi politisi di dalam lembaga legislatif. Kedua, masyarakat diwakili oleh selebriti yang memiliki pemahaman tentang ideologi parpolnya yang tidak terlalu baik. Ketiga, mengecilkan peluang kandidat lain yang tidak popular namun lebih kompeten daripada selebriti. Keempat, makin banyaknya partai politik yang menggunakan strategi instan merekrut selebriti di dalam pemilu.
Kata Kunci: Politik, Selebritis, Indonesia
PENDAHULUAN
Di Indonesia, sering kita jumpai berita di sosia media bahwasannya banyak selebritis yang terlibat di dalam dunia politik. Hal tersebut tentunya menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat terutama saat ini teknologi sudah canggih dan masyarakat mudah untuk mendapatkan informasi apapun melalui sosial media. Oleh karena itu, sebagai sorotan publik, sebaiknya selebritis yang terjun di dunia politik diharuskan untuk memahami seluk-beluk dunia politik, mengatur dan melaksanakan strategi yang tepat dalam membuat suatu kebijakan agar tidak disebut untuk eksistensi saja. Dan telah kita ketahui bersama bahwa mulut netizen Indonesia sangat pedas saat menghujat. Sehubungan dengan hal itu, dalam penelitian kali ini, saya akan meneliti mengenai Politik Popularitas Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia, dengan mengangkat judul yaitu Peran Selebriti Dalam Peningkatan Suara Partai Politik. Dengan Studi Kasus Keterlibatan Selebriti Indonesia. Alasan saya meneliti tentang Peran Selebriti Dalam Peningkatan Suara Partai Politik dalam dunia politik dikarenakan semakin marak selebriti yang masuk kedalam dunia politik.
Keterlibatan artis di dalam dunia politik tersebut khususnya di partai politik guna menunjang elektabilitas dan popularitas dari partai. Point dari artikel ini ialah bahwa Para selebriti memiliki keunggulan pada aspek popularitas, namun partai politik tidak boleh menghimpun para artis hanya untuk mengangkat popularitas partai politik tersebut tetapi juga harus mengembangkan pendidikan politik bagi tiap kadernya demi terciptanya ekosistem yang baik. Dengan melihat latar belakang permasalahan diatas, maka saya akan memecahkan beberapa permasalahan untuk dapat diselesaikan dengan baik. Berdasarkan latar belakang ini maka tulisan ini untuk menjawab bagaimana perkembangan keikutsertaan selebriti dalam pemilu Indonesia pasca orde baru, dan Bagaimana dampak atas keterlibatan selebritis dalam pemilu Indonesia, di sosial media maupun dunia nyata?
Kerangka Teoritik
Untuk menjawab ketiga pertanyaan di atas, penulis menggunakan konsep teori sebagai berikut:
Selebriti dan Politik
Menurut Boorstin (1961: 58-65), selebriti adalah seseorang yang dikenal luas atas keterkenalannya. Selebriti mengembangkan kapasitas mereka untuk terkenal, tidak dengan memperoleh pencapaian tertentu, tetapi dengan membedakan personalitas mereka sendiri dari mereka yang merupakan pesaing mereka di dalam arena publik. Sementara menurut Marshall (2004), selebriti mengacu pada orang-orang yang melalui media massa ‘menikmati’ kegiatan yang terbuka untuk publik’.
Hubungan antara selebriti dan politik dapat dilihat dari beberapa aspek. Aspek pertama adalah keterlibatan selebriti dalam politik. Ada dua tipe keterlibatan selebriti dalam politik. Pertama, celebrity endorser. Celebrity endorser adalah “any individual who enjoys public recognition and who uses this recognition on behalf of a consumer good by appearing with it in an advertisement (McCracken, 1989: 310)”. Dalam konteks pemilu, selebriti menggunakan endorsement tersebut dengan tujuan menarik calon pemilih. Dengan endorsementnya, selebriti membentuk bagaimana seorang calon yang ikut dalam pemilu dilihat oleh publik. Meskipun selebriti bukanlah yang memutuskan, selebriti membantu menambah penerimaan calon dengan calon pemilihnya. Endorsement dari selebriti diyakini mempengaruhi sikap memilih calon, persepsi terhadap kredibilitas calon, dan intensitas perilaku memilih (Morin, et.al.: 2012). Politisi sukses perlu membangun public face sehingga selebriti harus terlibat dalam partai politik.
Pragmatisme Partai Politik Pragmatisme telah menjadi kecenderungan dalam banyak partai politik saat ini. Dalam konsepsi partai politik modern saat ini, partai politik cenderung untuk mencari calon yang dapat menang dalam pemilu dan akan kooperatif ketika meraih jabatan. Konsepsi lama sebuah mesin partai yang kuat di mana mencari calon yang peluangnya kecil untuk terpilih tidak realistis. Memilih calon yang tidak memiliki reputasi, tidak memiliki uang, dan memiliki sedikit jaringan membuat partai politik wajib berusaha keras untuk membuat calon tersebut terpilih.
3.1. Perkembangan Keikutsertaan Selebritis Dalam Pemilu Indonesia Pasca Orde Baru.
Keterlibatan artis di dalam dunia politik khususnya di partai politik sudah berlangsung sejak dari Orde Lama hingga Pasca-Orde Baru. Namun pada kedua masa pemerintahan itu keterlibatan artis sangat terbatas karena hanya sebagai pendukung ideologi politik pemerintah yang otoriter. Sehingga yang terjadi adalah artis berpolitik hanya sebagai pajangan dan penghias, serta penghibur belaka dan hanya terbatas pada kepentingan artis untuk mempertahankan status dan profesinya agar penguasa membiarkannya hidup. Karena kekuatan otoriter pemerintah maka potensi keartisan sebagai pencipta karya budaya menjadi terbatas ditambah lagi dengan keterbatasan media sebagai mitra artis dalam mempopulerkan dunia keartisan.
Kondisi Selebritis Dalam Pemilu Indonesia Pasca Orde Baru
Keadaan relatif berubah setelah Soeharto jatuh oleh gerakan pro-reformasi pada bulan Mei 1998, terutama menjelang dan pasca-pemilu tahun 1999, kesadaran artis mulai berubah dari sekedar melaksanakan fungsi “penghibur politik” menjadi aktivis politik untuk melaksanakan peran politik yang lebih dalam. Dan menjadi sangat menarik lagi ketika menjelang pemilu 2004 dimana para artis ramai-ramai memasuki partai politik dan menjadi calon legislatif untuk selanjutnya dapat duduk parlemen.
Faktor berikutnya yang mendorong artis masuk partai politik adalah kemampuan ekonominya. Melalui kepemilikan uang yang tergolong tinggi memberi kesempatan besar bagi artis untuk masuk partai politik. Lebih dari itu dengan masuknya artis kedalam partai politik dapat menunjang elektabilitas dan popularitas dari partai itu sendiri.
Keterlibatan artis dalam PILEG/PILKADA sudah menjadi hal yang lumrah terjadi. Kekuaran popularitas para artis yang dianggap dapat bisa menjaring suara dengan mudah dianggap menjadi salah satu hal pendorong para artis masuk kedalam parlemen/pemerintahan. Menurut peneliti dari Departemen Politik dan Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai terjunnya artis kedalam dunia politik atau maju ke pilkada dilatarbelakangi sejumlah motif, salah satunya untuk mendongkrak suara.
Elektablitas para selebriti dalam dunia politik juga kerap menjadi perbincangan hangat. Puteri Indonesia Angelina Sondakh misalnya, dinilai berprestasi dan masuk kedalam parlemen pada periode 2004 – 2009. Namun, dia terjerat kasus korupsi hingga terstatus terpidana. Lalu terdapat pula juga dengan Nurul Arifin dari Partai Golkar yang terpilih pada periode 2009-2014, meski tidak terpilih lagi pada pemilu berikutnya. Nurul dikenal kalangan wartawan sebagai sosok yang cukup kritis membela hak-hak wanita dan dunia keartisan selain menguasai soal Undang-undang Pemilu. Jadi elektabilitas para selebriti dalam dunia politik dapat dikembalikan kepada partai politik untuk dapat kembali melakukan proses rekrutmen dan kaderisasi yang ketat agar kapasitas mereka sama dengan kader lainnya.
Terdapat banyak pandangan masyarakat terhadap fenomena ini. Mulai dari pengamat politik yaitu Pangi Syarwi Chaniago “Kita memahami apa yang terjadi belakangan ini, karena hampir semua parpol menggalami problem yang sama soal kaderisasi yang macet. Partai terkesan panik, menjadikan artis, publik figur dan bermain dengan populis,” katanya. Populis yang dimaksudkan adalah orang-orang yang umumnya berasal dari kalangan publik figur atau artis yang digunakan untuk menjadi daya tarik partai agar mendapatkan suara dan target kursi di parlemen terpenuhi. Memanfaatkan popularitas artis sebagai vote getter, dalam rangka mendulang elektoral sehingga parpol bisa selamat dari parlementary threshold dan jumlah kursi bisa mencapai target,”.
Pertama, faktor popularitas, yang melihat peran media massa. Sehingga terbentuknya image baru para artis berpolitik. Kedua, faktor tujuan politik artis yang melihat orientasi politik artis melalui agenda, visi dan misi politik para artis. Ketiga, faktor self identification yaitu faktor pengidentifikasian diri atas kemampuan berpolitik yang ditinjau dari faktor kecakapan politik, dengan melihat sosialisasi politik (political socialitation) dan pengalaman politik (political experiences), faktor kemampuan ekonomi, dan faktor nilai lebih keartisan. Ketiganya merupakan sejumlah temuan dari faktor yang mendorong artis masuk partai politik.
Faktor kecakapan politik yang terdiri dari sosialisasi politik dan pengalaman politik merupakan faktor yang diakui oleh artis untuk menutupi alasannya masuk partai politik dan alasan partai politik yang merekrut artis karena kepopulerannya. Melalui kecakapan politiknya, artis sangat yakin dapat melaksanakan tanggung jawab politik bila kaiak dipercaya oleh rakyat menjadi wakilnya.
Sejak 2004 sampai 2019 banyak selebriti yang mulai masuk kedalam parlemen, dan terdapat pula artis yang tersandung kasus korupsi sehingga ini menjadi tugas besar bagi partai pengusung untuk kemudian dapat memberikan pendidikan politik terhadap selebriti tersebut untuk menjaga elektabilitas partai itu sendiri. Tak sedikit pula selebriti yang dapat menjaga elektabilitas nya didalam kursi parlemen. Maka dari itu diperlukannya pendidikan politik yang baik sehingga tidak hanya memanfaatkan demi konteks keuntungan elektoral semata.
Pada prinsipnya, kondisi ini sama sekali tidak dapat dipermasalahkan, dikarenakan pada dasarnya konsep demokrasi memberikan kebebasan pada siapapun untuk dapat bergabung kedalam sistem pemerintahan, tiada sekatan dalam hal ini ketika kita berbicara dengan konsep demokrasi, begitupun juga dengan para selebriti yang kemudian ingin bergabung dalam sistem pemerintahan untuk membawa perubahan bagi negara tercinta ini. Namun yang kembali lagi disayangkan adalah sikap politik para selebriti yang kerap mengundang polemik.
Salah satunya adalah selebriti Krisdayanti, pada pertengahan tahun 2021 lalu selebriti Krisdayanti yang membeberkan gaji sebagai anggota dewan, melansir dari Kompas.com, Krisdayanti membeberkan soal pendapatan nya sebagai wakil rakyat. Krisdayanti memberikan pernyataan pendapatan nya yang terbilang cukup besar menurut pandangan masyarakat.
Pendapatan yang disebutkan pun diantara nya adalah mulai dari gaji pokok, tunjangan, dana penyerapan aspirasi dll. Mulai dari gaji pokok sebesar Rp.16 Jt setiap ditanggal 1 ditiap bulan nya, lalu 59 Juta di tanggal 5 ditiap bulannya merupakan uang tunjangan yang diterima setiap bulan. Krisdayanti juga menyebutkan soal uang yang ia dapat sebagai dana aspirasi dan juga uang kunjungan dapil. "Dana aspirasi, itu memang wajib untuk kita, namanya uang negara. Dana aspirasi kita itu Rp 450 juta, 5 kali dalam setahun," ujar wanita yang biasa disapa KD ini. Sementara itu, untuk uang kunjungan dapil atau daerah pilihan, Krisdayanti mendapat uang sekitar Rp 140 juta. "Saiki kita Rp 140 juta. 8 kali dalam setahun," kata Krisdayanti. Belakangan, anggota Komisi IX DPR itu meluruskan pernyataannya tersebut. Ia mengatakan, dana reses yang ia terima tidak masuk ke kantong pribadi tetapi untuk kegiatan menghimpun aspirasi di daerah.
Namun tak lama setelah itu, Krisdayanti langsung mengklarifikasi terkait pernyataan nya dengan menyebutkan bahwa dana tersebut tidak masuk kedalam kantong pribadi anggota dewan, melainkan sebagai dana penunjang untuk kegiatan anggota dewan dalam menghimpun aspirasi masyarakat. "Dana reses bukanlah merupakan bagian dari pendapatan pribadi anggota DPR RI, melainkan dana untuk kegiatan reses guna menyerap aspirasi rakyat di daerah pemilihan masing-masing," kata Krisdayanti dalam keterangan tertulis. Hal ini cukup menjadi bahan perbincangan publik dikarenakan angka tersebut dianggap sangat besar dan dianggap pula tak sebanding dengan kinerja anggota dewan.
Dalam hal ini beberapa elemen masyarakat cukup menyayangkan apa yang dilakukan oleh selebriti Krisdayanti. Dengan hal tersebut justru membahayakan elektabilitas anggota dewan yang terus dianggap tak sebanding dengan kinerjanya. Menurut Lucius Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) bentuk kinerja buruk anggota dewan dilihat dari kebijakan nya dalam RUU (Rancangan Undang – Undang) yang disahkan oleh DPR. Lalu dia menganggap dengan anggaran yang fantastis tersebut dianggap kurang dalam menghimpun aspirasi masyarakat. Dikarenakan dalam tiap kebijakan yang diambil oleh anggota dewan disinyalir tidak melibatkan masyarakat. Begitu pula dalam bidang pengawasan DPR disinyalir tenggelam dalam gerak cepat dalam mengawas pemerintah. Ketika bicara perihal kinerja maka masyarakat kerap menilai bahwa tidak sebanding dengan gaji para anggota dewan.
Berikutnya ada Giring ganesha (Mantan vokalis grup band Nidji) saat ini Giring menjabat sebagai ketua umum PSI (Partai Solidaritas Indonesia). Ketika diundang di salah satu Talkshow di stasiun TV. Hingga saat ini Giring menjabat sebagai ketua umum partai politik. Giring kerap memberikan kritik yang terkesan dangkal dan menebar kebencian. Ketika Giring mengkritik Anies Baswedan yang menjabat sebagai Gubernur D.K.I Jakarta. Giring menyebut Anies pembohong lantaran kerap mencitrakan sosok yang pura-pura peduli di tengah penderitaan rakyat saat pandemi. Giring pun berharap Indonesia tak jatuh ke tangan Anies saat Pilpres 2024 mendatang karena memiliki rekam jejak demikian. Lalu Giring mendapat kritik balik dari anggota DPRD D.K.I Jakarta fraksi Gerindra mengatakan “Kritik itu jangan asbun (asal bunyi) dan sarat kebencian. Kasihan saya dengan Giring, sekelas ketua Partai seperti orang kesurupan. Saya mengajak rileks sedikitlah, supaya agak jernih beropini”. Giring sudah sepatutnya menggunakan kata yang proporsional dan rasional dalam mengkritik. Kritik juga datang dari barisan relawan Anies. Koordinator Relawan Jaringan Warga (Jawara) Anies-Sandi, Sanny Irsan menilai pernyataan yang dilontarkan Giring itu hanyalah untuk mencari sensasi. "Tanggapan saya sebagai relawan Anies, bahwa apa yang diutarakan Giring hanyalah mencari sensasi saja,"
Dalam hal ini kualitas artis kerap terus dipertanyakan dikarenakan terus mengundang polemik. Berdasarkan kondisi ini partai politik tidak boleh menghimpun para artis hanya untuk mengangkat popularitas partai politik tersebut. Dengan kata lain kembali diingatkan untuk terus mengembangkan pendidikan politik bagi tiap kadernya demi terciptanya ekosistem yang baik.
4.1. Dampak Atas Keterlibatan Selebritis Dalam Pemilu Indonesia di Sosial Media Maupun Dunia Nyata.
Para selebriti memiliki keunggulan pada aspek popularitas jika dibandingkan dengan calon-calon lain dengan latar belakang politisi, birokrat, pengusaha, dan bahkan agamawan. Keunggulan ini diperoleh dari banyaknya liputan media massa dan media sosial, dimana para selebriti mendapat panggungnya di dunia industri musik dan perfilman. Pada pelaksanaan Pemilu, variabel popularitas membantu kandidat selebritis pada saat memasuki masa kampanye. Dengan modal ketenaran ini para politisi selebritis mengawali kampanye dengan baik dan mengungguli calon-calon lainnya yang tidak terlalu dikenal masyarakat.
4.2. Dampak Atas Keterlibatan Selebritis Dalam Pemilu Indonesia di Sosial Media.
Adanya buzzer dalam media sosial yang memberikan dampak negatif atau menyebarkan berita hoax tentang selebritis yang sedang mengikuti politik saat berkampanye. Jika ada masalah keluarga ataupun latarbelakang yang buruk pasti diungkit, Dianggap sebagai pemanis karena popularitas di sosial media untuk memajukan partai politik dan parlemen akan melahirkan kesan bahwa mereka kurang punya prinsip, atau bahkan mereka berpolitik di negeri ini belum menjadi tujuan ideologis untuk memperjuangkan suara rakyat.
4.3. Dampak Atas Keterlibatan Selebritis Dalam Pemilu Indonesia di Dunia Nyata.
Secara umum pada berbagai event Pemilihan Legislatif atau Pemilihan Kepala Daerah, seorang calon yang terdaftar pada kertas suara akan mengejar tiga variabel penting; yaitu popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas (Ubaid & Subandi, 2018). Variabel popularitas ini menjadi isyarat pengenal heuristik bagi pemilih. Pada variabel popularitas, seorang politisi selebritis bisa mengaplikasikan ketenarannya dengan lebih baik dibanding calon-calon legislatif lainnya. Sehingga seorang selebritis dapat berasumsi bahwa dia bisa langsung mengejar variable akseptabilitas atau penerimaan masyarakat terhadap pencalonannya sebagai politisi. Variabel akseptabilitas diukur dari tingkat kesukaan dan ketidaksukaan masyarakat terhadap kandidat calon. Untuk mencapai variabel ini, para calon perlu melaksanakan program-program kampanye intensif seperti kampanye blusukan, door to door dan canvassing. Ini untuk menunjukkan bahwa statusnya sebagai selebritis tidak menghalangi kepantasan mereka untuk terjun di dunia politik. Pada prakteknya, variabel popularitas para selebriti tidak selalu dapat mengalahkan popularitas calon legislatif dari latar belakang lainnya, misalnya saja seorang calon petahana yang telah memiliki akar yang kuat di suatu daerah pemilihan. Berdasarkan hasil survey opini yang dilakukan oleh Laporan selama masa kampanye, figur Krisdayanti dan Ahmad Dhani berhasil mencatatkan angka popularitas tertinggi dari pemilih. Sementara politisi selebritis lainnya yaitu Arzetti Bilbina dan Denada hanya menduduki peringkat ketiga pada variabel popularitas dan elektabilitas ini. Bahkan politisi selebritis lainnya seperti Manohara Odelia dan Andre Hehanusa masing-masing hanya mencatatkan angka popularitas 1.4% dan Andre Hehanusa 0.4% (Lapora, 2019a). Ini disebabkan oleh intensitas kampanye yang rendah atau keduanya baru saja memulai aktivitas kampanye pada tiga bulan sebelum hari pemilihan. Hal ini terkonfirmasi dari pengakuan Valentinus Barobeda Casay, bahwa intensitas kampanye “Manohara baru dimulai pada 3 bulan sebelum hari pencoblosan dengan melakukan kampanye blusukan setiap minggu di seluruh titik pasar di Surabaya dan Sidoardjo” (wawancara penulis, 1 Agustus 2019). Aktifitas yang instan tersebut membuat pemilih tidak memiliki pengetahuan yang cukup bahwa seorang selebrititis tertentu mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR dari Dapil tertentu.
Pada umumnya hanya memiliki popularitas namun minim rekam jejak ketokohan yang dibangun berdasarkan pencitraan dirinya di wilayah sosial dan wilayah politik. Masyarakat tampaknya enggan memberikan hak suara mereka kepada selebritis yang baru muncul pada saat-saat menjelang Pemilu. Hal ini dapat kita lihat dari respon masyarakat terhadap figur Denada, yang cukup dikenal oleh mereka yang mengikuti berita-berita seputar dunia hiburan tanah air. Selama masa kampanye Denada cukup aktif dalam pemberitaan di kolom gosip selebritis, khususnya terkait dengan penyakit kanker yang diderita oleh anak perempuannya. Masalah keluarga yang dihadapi Denada tersebut beberapa kali mendapat sorotan dari media massa nasional, dengan banyaknya kolega selebritis dan bahkan para politisi Nasional. Pada bulan Februari 2019 Denada berupaya memanfaatkan momen dimana putrinya dijenguk oleh Presiden Joko Widodo di Singapura. Pada konteks ini Denada berupaya membangun pencitraan melalui pendekatan parasosial. Pencitraan parasosial ini merujuk pada hubungan ilusif antara seorang individu dengan tokoh selebritis di media.
Selanjutnya, apa dampak dari keterlibatan selebriti dalam Pemilu di Indonesia? Apa masalahnya kalau selebriti lantas terpilih dan menjadi anggota legislatif? Dampak yang paling besar adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap kompentensi selebriti yang menjadi politisi di dalam lembaga legislatif.
Pada umumnya, celebrity politician sering dipermasalahkan karena keraguan akan kompetensi mereka. John Street (2012) mengatakan bahwa selebriti yang menjadi politisi bermasalah karena 2 (dua) hal. Pertama, masalah (potensi) peran mereka di dalam proses kebijakan. Pembuatan kebijakan adalah proses yang panjang dan kompleks serta memerlukan kemampuan ‘tersendiri’ (tata cara bersidang, mengagreasi aspirasi, dan lain sebagainya) dari tiap wakil rakyat. Kedua, terjunnya selebriti dalam politik sebagai sebuah tren masa kini dikaitkan dengan pemahaman akan proses dalam media (dan distribusi modal simbolik).
Hal tersebut bertalian dengan pergeseran dari hierarkhi kepada jaringan, lemahnya peran negara, cairnya identitas, dan bertambah pentingnya media. Dampak berikutnya adalah makin banyaknya partai politik yang menggunakan strategi instan merekrut selebriti di dalam pemilu. Apabila berkaca pada pemilupemilu legislatif yang sudah ada selama ini bukan tidak mungkin di Pemilu 2019 partai-partai politik makin “menggantungkan diri” pada strategi merekrut makin banyak selebriti dikarenakan dua hal yaitu biayanya tidak lebih besar daripada merekrut orang-orang nonselebriti dan peluang terpilihnya juga jauh lebih besar daripada orang-orang non-selebriti.
5. Kesimpulan
Keterlibatan artis di dalam dunia politik khususnya di partai politik guna menunjang elektabilitas dan popularitas dari partai. Para selebriti memiliki keunggulan pada aspek popularitas, namun partai politik tidak boleh menghimpun para artis hanya untuk mengangkat popularitas partai politik tersebut tetapi juga harus mengembangkan pendidikan politik bagi tiap kadernya demi terciptanya ekosistem yang baik.
Keterlibatan artis di dalam dunia politik khususnya di partai politik guna menunjang elektabilitas dan popularitas dari partai. Dimana kaitannya ialah pada kepentingan partai pengusung pemilu yang dimana melibatkan artis sebagai strategi marketing politik supaya partai politik tersebut lebih dikenal orang. Namun strategi tersebut menimbulkan dampak pro dan kontra di dalam masyarakat. Ada empat dampak dari keterlibatan selebriti dalam pemilu di Indonesia. Pertama, ketidakpercayaan masyarakat terhadap kompentensi selebriti yang menjadi politisi di dalam lembaga legislatif. Kedua, masyarakat diwakili oleh selebriti yang memiliki pemahaman tentang ideologi parpolnya yang tidak terlalu baik. Ketiga, mengecilkan peluang kandidat lain yang tidak popular namun lebih kompeten daripada selebriti. Keempat, makin banyaknya partai politik yang menggunakan strategi instan merekrut selebriti di dalam pemilu.
6. Daftar Pustaka
Ardhana Ulfa Aziz, (2004) “Artis dalam dunia politik: studi faktor-faktor keterlibatan artis dalam partai politik.”
Sahrudin Lubis, (2015) “Studi Keterlibatan Artis Dalam Pemilu 2014”
Arizka Warganegara (2016) “RUU dan Artis Berpolitik”
Ikhsan Darmawan (2015) “Keterlibatan Selebriti Dalam Pemilu Pasca Orde Baru”
Moddie Alvianto Wicaksono, Muh. Saiful Aziz (2020) “Selebritas Dalam Pemilu 2019”
Dyah Tantri Efrina Putri, Muradi (2017) “Popularitas Selebriti Sebagai Kosmetika Politik” Vol. 3 No.1
Wahyuni Choiriyati, Ida Wiendjiarti (2011) “Popularitas Selebriti Sebagai Komoditas Politik”
HB Habibi Subandi, Ahmad Ahsan Ubaid (2020) “Selebritis Menjadi Politisi : Studi Tentang Bagaimana Selebritis Menang Atau Kalah dalam Pemilu Legislatif”,
Cora Elly Noviati (2013) “Demokrasi dan Pemerintahan”, Vol.10 No.2,
liputan6.com/kritikan-keras-giring-psi-kepada-gubernur-dki-jakarta-anies-baswedan
Detik.com/Politik Selebriti dan Paradoks Demokrasi
nasional.kontan.co.id/fenomena-artis-jadi-caleg-merebak-lagi-ini-kata-pengamat
detik.com/jalan-politik-para-artis
kompas.com/artis-masuk-politik-haruskah-miliki-bekal-ilmu-dan-pengalaman