Oleh : Muhammad Sahli
Berbicara dakwah islamiyah, tentu tak bisa dilepaskan dari perangkat yang menjadi penopang suksesnya dakwah itu sendiri. Islam sangat memperhatikan metode atau cara yang digunakan daripada mementingkan isi atau materi. Jika metodenya tidak tepat, maka isinyapun tidak akan diterima atau tidak akan tersosialisasikan dengan baik. Dalam ungkapan umum bahwa hasil yang baik lahir dari proses yang baik pula.
Banyak cara yang dilakukan para muballigh dalam menyampaikan pesan dakwahnya mulai dari berdagang, politik kekuasaan, majelis taklim, pengobatan, uswah hasanah, dzikir sampai seni budaya. Karena semua itu sebagai alat dakwah bukan merupakan tujuan. Tujuan utamanya tentu kemaslahatan umat dari segi tauhid, akhlaq maupun ibadahnya.
Sebagaimana jejak dakwah yang ditinggalkan KH. Ibrahim salahsatu leluhur Pondok Pesantren Raudlatul Iman menggunakan media dzikir sebagai alat dakwahnya. Beliau adalah salahsatu tokoh yang konsen mengamalkan dzikir untuk menajamkan spiritualnya. Objek dari dzikir adalah hati agar hati yang keras menjadi lembut dan dapat menembus tembok besar bernama ego yang bercokol dalam pribadi seseorang, sehingga yang tampak hanya keagungan-Nya.
Berbeda dengan pendahulunya, KH. Abd Hamid yang meneruskan perjuangannya menggunakan seni budaya sebagai pendekatan dakwahnya. Beliau dengan sikap tasamuhnya berbaur dengan masyarakat memberikan pencerahan lewat perilaku sosialnya. Di samping itu, beliau juga menyentuh kesadaran masyarakat pada fase awal melalui perkumpulan-perkumpulan yang salahsatunya adalah perkumpulan seni gambus dan samman (khataman sholawat). Masyarakat secara tidak langsung mendapat pesan-pesan rohani lewat lirik dan puji-pujian yang terkandung di dalamnya serta pengajian yang terselip di sela-sela kegiatan. Hal itu juga yang dilakukan K. Abd Aziz lewat kumpulan hadrahnya. Seakan keduanya berbagi tugas saling melengkapi satu sama lain.
Sampai saat ini, tradisi watitsan leluhur itu tetap dilestarikan oleh para penerusnya seperti K. Ali Mufti Hamid dengan lagu-lagu religinya dan K. Faishol Aziz dengan Keramat Banjarinya. Saya sendiri dalam situasi tertentu, menggunakan medium sastra sebagai instrumen menyampaikan pesan-pesan moral, baik menyangkut agama, sosial, lingkungan dll. Saat ini juga masih eksis Musafir Band dan gambus sebagai visualisasi dakwah dalam wajah yang ramah.
Tetapi juga yang harus digarisbawahi, bahwa tarekat Naqsyabandi dengan dzikir khofinya sebagai pengamalan tasawwuf, sampai saat ini tetap menjadi branding PP. Raudlatul Iman yang tetap dipertahankan turun temurun.
Mencermati dua pendekatan yang menjadi ciri khas di Raudlatul Iman, yaitu sentuhan spiritualitas dan seni yang sama-sama mengarah pada hati atau rasa, maka tidak berlebihan kiranya, jika kedua model itu tetap dipertahankan bahkan selalu diinovasi ke dalam ruang-ruang yang lebih kontekstual dan menggairahkan dalam rangka mengkomunikasikan dakwah yang populis dan silaturrahim yang lebih humanis.
Menjelang Tidur, 09 Juli 2022
Tulisan ini pertama kali tayang di Media Center Raudlatul Iman