Iklan

https://www.serikatnasional.id/2024/10/blog-post.html

Iklan

,

Iklan

GMNI Bersama APM22 Gelar Unjuk Rasa Tolak Kenaikan Harga BBM Bersubsidi

SerikatNasional
6 Sep 2022, 12:34 WIB Last Updated 2022-09-06T05:39:01Z


RUTENG - Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) cabang Manggarai Bersama Aliansi pemuda Manggarai (APM22) serta masyarakat Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Merespon rencana pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) melakukan aksi penolakan  Selasa (06/09/2022). Ada beberapa hal penting yang menjadi fokus GMNI terkait kebijakan subsidi bahan bakar minyak.


Pertama, anggaran subsidi BBM yang menurut pemerintah semakin membengkak dari tahun ke tahun tidak berbasis data konsumsi riil masyarakat atas bahan bakar minyak, terutama konsumsi BBM masyarakat miskin atau tidak mampu. Sehingga BBM bersubsidi di lapangan banyak diselewengkan oleh para penyalur seperti SPBU bukan untuk konsumsi masyarakat miskin namun justru dijual kepada industri besar, mobil mewah hingga aktivitas pengangkutan, penyimpanan, dan perdagangan BBM tanpa izin usaha, dan lain-lain.


Kebijakan subsidi BBM secara ontologis sudah serampangan. Jika ingin berbasis konsumsi BBM, yang seharusnya dihitung adalah konsumsi riil masyarakat miskin yang berhak menerima subsidi. Seringkali dalam melakukan proyeksi pemerintah menggunakan data konsumsi rata-rata masyarakat secara umum untuk menjadi basis data pengambilan besaran anggaran subsidi. Disini jelas terjadi category mistake, apalagi pasca covid-19 terjadi peningkatan pleasurable consumption pada golongan kelas menengah seperti menghabiskan belanja untuk mencari kesenangan atau rekreasi. Maka konsumsi BBM masyarakat secara umum juga jelas akan naik.


Kedua, GMNI juga menyoroti peran BPH Migas yang bertugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak. GMNI berpendapat, dengan banyaknya penyimpangan bahkan penimbunan BBM maka peranan BPH Migas sebagai lembaga pengatur dan pengawas perlu dipertanyakan. Dengan kewenangan yang besar di sektor hilir migas, maka seharusnya BPH Migas memiliki formula pengaturan dan pengawasan yang bisa tepat sasaran.


Menurut GMNI, BPH Migas yang juga berwenang mengatur dan menetapkan ketersediaan, distribusi hingga pemanfaatan BBM bersubsidi seharusnya bisa menindak oknum-oknum SPBU nakal yang menyelewengkan BBM bersubsidi. Seharusnya BPH Migas bisa merancang dashboard monitoring penyaluran BBM bersubsidi yang canggih dan valid. Sehingga tidak terus menerus terjadi penyelewengan. Pemerintah dimana mewacanakan akan melakukan penyesuaian terhadap kebutuhan dan subsidi bbm Nasional, khususnya Pertalite. Harga ke-ekonomian Pertalite berdasarkan ICP US$105 dan Kurs Rupiah terhadap dollar AS Rp 14.700.


Kebutuhan Pertalite Nasional berdasarkan hasil kajian GMNI akan habis pada oktober 2022, tepatnya pada 23 oktober 2022 dengan asumsi kuota BMM Pertalite Indonesia untuk kebutuhan 2022 sebesar 23,05 juta KL. Maka ada kurang lebih sekitar 70 hari kedepan untuk sampai Desember 2022 Pemerintah harus menambah kuota kebutuhan konsumsi pertalite nasional.


Dalam penambahan tersebut, pemerintah akan membeli sebesar kurang lebih 5,4 jt KL Pertalite lagi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi Pertalite Nasional sampai akhir Desember. Dalam membeli kekurangan kebutuhan itu, pemerintah harus mengeluarkan dana sebesar Rp 79,09 T. Angka tersebut didapat mengikuti asumsi dari kementerian ekonomi terkait konsumsi harian nasional akan pertalite sebesar 78.200KL dari kuota pertalite tahun 2022 sebesar 23,05 Juta KL.


Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) melihat, pertama, ada celah informasi yang perlu dikritisi agar dibuka kepada publik, yaitu terkait data konsumsi harian dari konsumsi BBM Nasional, yakni rincian dari alokasi subsidi dan kompensasi APBN berdasarkan Perpres 98/2022, terkait subsidi BBM yang perlu dijabarkan alokasi besaran subsidi atas Pertalite, Solar, Pertamax, LPG dan Listrik dari total subsidi sebesar Rp 503 T. Hal ini perlu karena, dari sini masyarakat dapat mengetahui berapa besaran subsidi dan kompensasi komponen penyusun BBM; Pertalite, Solar dan Pertamax.


Hal tersebut yang menurut GMNI penting untuk dibuka karena dari sini publik akan dapat melihat sebenarnya berapa porsi subsidi anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah untuk BBM, LPG dan Listrik, lalu kita bisa menerima data bahwasanya anggaran subsidi pemerintah terhadap Pertalite cukup atau tidak, sudah habis atau belum, begitu juga dengan jenis bahan bakar dan komponen subsidi lainnya.


Kedua, menurut penjelasan Menteri Perekonomian, bahwasanya selama ini pemerintah memberikan kompensasi sebesar Rp 6.800 kepada masyarakat. Dimana ini merupakan gap antara HJE Rp 7.650/L dengan harga keekonomian Rp 14.450. Pun Sri Mulyani menyadari bahwasanya subsidi sebesar Rp 6.800 ini sebenarnya lebih banyak dinikmati oleh RT Mampu, artinya subsidi BBM-Pertalite tidak tepat sasaran selama ini atau 80% dinikmati oleh RT mampu dan 20% dinikmati oleh RT miskin dari 86% total Konsumsi Pertalite untuk RT. Jika di konversi kedalam Rupiah, maka ada kurang lebih sekitar Rp 110,6 T yang dinikmati pemburu rente/mafia migas/manusia yang tidak bermoral dari awal tahun sampai dengan Agustus 2022 ini. Atas kesadaran itu, seharusnya pemerintah harus segera mengevaluasi kebijakan subsidi ini, karena sudah jelas peruntukannya tidak sesuai dengan target yang disasar, yakni masyarakat kurang mampu.


Bagaimana cara mengevaluasi itu salah satunya dengan melengkapi data jumlah keluarga kurang mampu yang mengkonsumsi BBM (pertalite). Tanpa data, kebijakan tersebut dapat merugikan keuangan negara yang sudah pasti merugikan masyarakat kurang mampu. Lalu, langkah evaluasi selanjutnya adalah dengan mengevaluasi lembaga negara yang mengatur proses hilirisasi dari BBM, yakni BPH Migas. BPH Migas sendiri di bidang BBM memiliki tugas untuk mengatur, menetapkan dan mengawasi ketersediaan dan distribusi BBM, cadangan bahan bakar minyak nasional dan pemanfatan fasilitas pengangkutan dan penyimpanan BBM. Gejolak yang terjadi saat ini terkait kenaikan harga BBM, berarti salah satunya dikarenakan ketidak efektifan kinerja dari BPH Migas dalam melakukan tugasnya. Sehingga yang menjadi korban lagi-lagi adalah masyarakat tidak mampu – marhaen.


Selain melakukan evaluasi teknis tersebut, pemerintah harus tidak boleh menjamin ketersediaan dan keterjangkauan BBM terhadap masyarakat kurang mampu. Bilamana solusi yang dikeluarkan pemerintah adalah dengan menaikkan harga jual eceran BBM, ini kami rasa sungguh tidak memihak rakyat kecil.


Harusnya dari evaluasi tersebut pemerintah silahkan memperbarui dan mematangkan regulasi terkait penyaluran dan pengaturan BBM ini, karena kalau ini dilakukan tidak mungkin ada kebocoran dana Triliunan rupiah yang menguap begitu saja pada knalpot mobil-mobil mewah para pemburu rente. Oleh karena itu, kami perlu menegaskan kembali, standing position dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) akan selalu berada pada garis perjuangan dalam mengkritisi setiap kebijakan yang tidak pro rakyat, pun selalu ada untuk memberikan solusi kepada penyelenggara negara sebagai wujud kesadaran kami sebagai warna negara.

Hal wajar bila GMNI yang notabene-nya sebagai pembela kaum marhaen (rakyat miskin), menyuarakan untuk mengevaluasi kebijakan subsidi BBM yang selama ini berdasarkan analisis diatas dinilai sebagai sebuah kebijakan yang miss landing. Miss landing policy karena penikmat dari subsidi ini ternyata mayoritas adalah Rumah Tangga (RT) mampu, yang mana seharusnya ini diperuntukkan untuk RT Kurang mampu/marhaen.


Dampak dari miss landing policy ini mengakibatkan pemerintah akan mengevaluasi harga BBM (baca: pertalite), baik melalui skema penyesuaian maupun penghapusan subsidi. Dalam Rincian APBN 2022 berdasarkan Perpres 98/2022, dituliskan besaran dari subsidi dan kompensasi untuk BBM (Pertalite, Solar, Pertamax), LPG, Listrik sebesar Rp 503 T. Dimana kalau di pecah, untuk BBM dan LPG saja kurang lebih sebesar 402 T. Berarti bila dihitung jumlah konsumsi pertalite nasional sampai dengan Agustus 2022, maka total biaya yang di subsidi pemerintah untuk Rumah Tangga (RT) adalah sebesar Rp 128,68 T, dengan asumsi belanja pemerintah sesuai dengan harga keekonomian sebesar Rp 273,45 T, dimana harga keekonomian Rp 14.450 berdasarkan asumsi kurs Rupiah 14.700 dan ICP US$105.


Sejarah Kenaikan Harga BBM, Alasan dan Amanah Rakyat.!


Kenaikan harga BBM bukan kali pertama terjadi di Indonesia, untuk menghemat daya ingat, GMNI mengambil data historis pada tahun 2013 dan 2014.


Pada tahun 2013, terjadi kenaikan harga BBM, tepatnya pada bulan Juni. Kala itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan harga BBM dengan alasan untuk menyehatkan fiskal. Menteri ESDM kala itu, Jero Wacik menyatakan jika konsumsi BBM tidak dikendalikan melalui kenaikan harga, maka konsumsi BMM sampai akhir 2013 akan menembus 53 Juta KL dan beban belanja subsidi BBM berpotensi mencapai Rp 250 T – Rp 296 T. Dimana dalam APBN-P 2013, pemerintah mematok belanja subsidi BBM hanyab Rp 199,85 T dengan memperhitungkan kenaikan harga BBM bersubsidi.


Pada tahun 2014, tepatnya bulan November, Pemerintah Indonesia juga menerapkan kenaikan BBM, khususnya Premium dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500. Kala itu merupakan awal kepemimpinan Ir. Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7. Melansir Kompas.com, 2014, saat itu Jokowi mengatakan bahwasanya menetapkan kenaikan BBM merupakan suatu kebijakan yang sulit untuk sebuah bangsa. Namum itu dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut guna mengalihkan subsidi BBM dari konsumtif menjadi produktif (infrastuktur, kesehatan dan pendidikan). Lalu, sebentar lagi kita juga akan dihadapi dengan kasus yang sama, yakni akan adanya penetapan harga BBM (pertalite, solar, pertamax) yang baru, atau bahasa afirmatifnya adalah penyesuaian subsidi BBM. Dalilnya adalah harga minyak global sedang diatas harga forecast yang ditetapkan dalam Perpres 98/2022.


Padahal Perpres ini baru diperbaharui Juni 2022 lalu, atas perubahan terhadap Perpres 104/2021 tentang Rincian APBN 2022. Hal ini membuat GMNI, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia berfikir kembali, sebenarnya apa yang sedang terjadi di Negeri ini, mengapa disaat masyarakat sedang belajar untu menyesuaikan keekonomian hidup pasca pandemi Covid-19, Negara malah terkesan tidak serius dalam merumuskan bahkan menjalankan suatu kebijakan yang mereka tetapkan. Ini menjadi kegelisahan GMNI, secara Nasional.


Hari ini GMNI melihat, dari trend kenaikan harga BBM pada 2013 dan 2014, yang mana pada saat pemerintah menetapkan kebijakan menaikkan harga BBM, maka yang terjadi adalah shock (kejutan) di masyarakat, Inflation by Administered Prices, inflasi karena kebijakan pemerintah. Dampak sosial ekonomi dari permasalah tersebut adalah simpelnya, angka kemiskinan baru akan bertambah, dikarenakan secara otomatis daya beli masyarakat akan berkurang, dikarenakan biaya produksi barang-barang akan melambung. Lagi-lagi masyarakat miskin yang lebih banyak menerima dampak negatifnya. Sangat tidak fair, karena ketika subsidi berlaku, data menunjukkan bahwasanya penikmat dari anggaran subsidi tersebut adalah mayoritas masyarakat/RT mampu/atau orang kaya kalau GMNI dipaksa mengklasterkannya.


Lalu, dimana letak sila ke-5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Inilah yang menjadi landasan filosofis atau filosofische grondslag mengapa GMNI – Marhaenis, menyadari perlu malakukan massa – aksi demi perjuangan terhadap Kaum Marhaen.


Menyikapi polemik ini, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Cabang Manggarai bersama APM22 menyatakan sikap:


1. Menolak kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi
2. Mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk membatalkan kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi
3. Mendesak Kepolisian untuk memberantas praktik penyalahgunaan penyaluran BBM
4. Mendesak KPK untuk mengaudit BPH Migas
5. Mendesak pemerintah daerah untuk ikut melakukan pengawasan penyaluran BBM.


EVALUASI SECARA RADIKAL SUBSIDI BBM…!
KEADILAN UNTUK RAKYAT…!
GMNI JAYA…!
MARHAEN MENANG...!


(Iren Darson)