Oleh: Sulaisi Abdurrazaq
"Tanpa keadilan, negara tidak lain hanyalah gerombolan perampok yang terorganisasi"
(St. Augustinus, Filsuf)
NYARIS dua bulan, sejak September sampai Oktober 2022, jagat hukum terasa seperti lelucon.
Beragam peristiwa memaksa batin publik untuk menurunkan tingkat kepercayaan terhadap penegak hukum. Baik hakim, pengacara, jaksa maupun polisi. Seolah, hukum dan keadilan menjadi ilusi.
Lelucon-lelucon itu kelewat batas. Bertubi-tubi mengguncang Republik. Hukum bahkan telah jatuh dan mengalami "gegar otak", terutama setelah pembunuhan sadis Brigadir Joshua oleh Ferdy Sambo, yang secara nyata memberi cermin, bagaimana dunia polisi hari ini.
Gara-gara Sambo, "otak saya terhenti", tak ada catatan kritis, tak mampu curhat, tak kuasa mengumpat.
Rasanya kesal aja, lelah. Bawaannya malas, tapi tak mungkin eskapis, karena saya praktisi hukum. Kemampuan saya hanya melawan dengan teks, lalu bertanya: masih adakah prospek hukum kita?
Belum tuntas kasus Sambo, dunia hukum guncang lagi. Hakim Agung, Sudrajad Dimyati, ditangkap KPK. Kasus suap.
KPK tetapkan 10 tersangka dugaan suap pengurusan kasasi gugatan aktivitas Koperasi Simpan Pinjam Intidana di Mahkamah Agung. Terdapat dua nama advokat senior bercokol juga di sana, Yosep Parera dan Eko Suparno. Ngilu.
Yang agung, jatuh ke titik terendah. Sebagai anak hukum, saya frustasi. Malu. Jika yang agung memberi contoh sehina itu, bagaimana yang di bawah. Bagaimana kondisi psikologis anak-anak muda hukum. Bisa bodo amat dan makin malas jadinya.
Sehabis itu, Polri diterpa kasus Kanjuruhan Malang. Sedikitnya, 132 orang tewas dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022, pasca kekalahan Arema melawan Persebaya. Yang ini musibah.
Ditambah lagi kasus Teddy Minahasa, Kapolda Jatim yang terlibat peredaran narkoba.
Bahkan, dugaan Bambang Rikmanto, Peneliti _Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)_ bidang kepolisian, penangkapan Irjen Teddy Minahasa tak lepas dari isu perang antar faksi di internal Polri. Ngeri.
Semua itu kelakuan senior-senior Polisi, yang merusak reputasi Polri Presisi.
Ada Polisi yang bekerja keras membangun dan menjaga sekuat tenaga citra Polri, polisi-polisi senior itu malah merobohkannya.
Itulah yang membuat hukum mengalami "gegar otak" dan membuat nalar kian tumpul. Perasaan jadi emosional, apatis dan tak respek.
Tapi, siapapun mereka, keadilan harus tetap ditegakkan. Karena, kata St. Augustinus, _"tanpa keadilan, negara tidak lain hanyalah gerombolan perampok yang terorganisasi”._
Peristiwa demi peristiwa hukum telah membawa kita pada wacana kejahatan "melampaui batas realitas", melampaui moralitas _(hyper morality)_.
Ukuran moral semakin tidak jelas, karena situasi yang berkembang melampaui batas-batas _Good and Evil._ Begitulah kira-kira kalau kita gunakan perspektif George Bataile dalam bukunya _Literature and Evil_ (1990).
Sampai suatu pagi, diriku bertemu seorang Polisi muda-milenial di ruang Kanit III Polres Pamekasan, namanya Eko.
Unit III sedang piket, diriku mendampingi seorang ibu yang sudah lanjut usia bersama anak bungsu perempuannya melapor Polisi.
Mereka berdua diusir anak laki-lakinya dari rumah, bahkan diancam akan dibunuh, dikatai binatang. Ibu kandungnya dibanting, adik perempuannya dihajar di bagian wajah, hingga bonyok, perabotan rumah dihancurkan, gembok rumah diganti. Mereka tidak bisa tinggal di rumah sendiri.
Peristiwanya tahun 2021, di Pamekasan, jadi tak sempat visum, karena saat itu tidak melapor Polisi, berharap anaknya sadar.
Kini, ibu itu tak kuat lagi, ingin pulang, tapi tetap takut dibunuh anak kandungnya.
Masalahnya sepele, anak laki-lakinya telah bercerai, punya dua anak. Kedua anak itu diasuh mantan istrinya.
Kesalahan ibu itu hanya satu: menyambangi dua cucu yang diasuh mantan istri anak laki-lakinya dengan membawa oleh-oleh.
Anak laki-lakinya tak mau ibu dan adiknya memberi perhatian. Itu saja. Aneh kan!
Kami dampingi ibu itu secara gratis, tanpa dipungut biaya, melalui LKBH IAIN Madura.
Singkatnya, saya berdiskusi mengenai peristiwa itu dengan seorang polisi milenial. Menggali unsur delik, penerapan pasal yang tepat. Berbagi perspektif serta langkah-langkah alternatif yang relevan.
Diskusi itu mengalir, terasa seperti diskusi akademis dengan nuansa yang cukup progresif. Selain itu, pelayanan cukup cepat, tidak bertele-tele.
Setelah pertemuan itu, saya merasa, hukum di tangan Polri masih ada harapan. Syaratnya, ganti posisi-posisi strategis pada institusi Polri dengan tenaga-tenaga milenial yang terampil, berwawasan, energik, berintegritas dan progresif.
Kaum tua yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dan masih terjebak gaya lama seperti Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa, singkirkan saja. Perlu sikap dan langkah revolusioner untuk itu, agar perbaikan terjadi dengan cepat.
Untuk Polres Pamekasan, sudah lima kali saya ke SPKT, urus laporan. Masih ada polisi senior yang rajin "ngamen" tiapkali pencari keadilan mengurus laporan di sana.
Jika tidak segera disingkirkan, biar kami yang bantu Kapolres membersihkan.
Saatnya revolusi mental. _Support_ Polri Presisi (*)
_________________________
* Penulis adalah alumni Pascasarjana Politik UI dan Direktur LKBH IAIN Madura.