Iklan

https://www.serikatnasional.id/2024/10/blog-post.html

Iklan

,

Iklan

Ketua DPC REPDEM Kota Tangerang: Usut Tuntas Kekerasan Dalam Pondok Pesantren SD. Golden Ad, Dhuha

@SerikatNasional
2 Nov 2022, 06:19 WIB Last Updated 2022-11-01T23:19:14Z


TANGERANG - Kasus kekerasan di lingkungan Pondok Pesantren kembali terjadi, kali ini kasus tersebut terjadi di Pondok Pesantren Sd. Golden Ad, Dhuha Tangerang.


Setelah mendengar terjadinya kekerasan yang dilakukan dalam pondok pesantren Sd. Golden Ad, Dhuha Yang beralamat di Jl. Sandong Raya Kampung Bulak Santri Rt02/Rw 05 Kel. Pondok Pucung Kecamatan Karang Tengah Kota Tangerang pihak Pondok Pesantren menyampaikan informasi kepada pihak keluarga jika kedua belah pihak sudah melakukan musyawarah, dengan membuat surat pernyataan yang dibuat, meskipun korban luka luka dibagian wajah serta telinga karena sudah mengalami  kekerasan.


Kejadian kekerasan di lingkungan Pondok Pesantren bukanlah yang pertama kali. Sebenarnya ada banyak praktik kekerasan yang kerap terjadi di lingkungan Pesantren. Umumnya praktik tersebut berangkat dari pola bullying dan relasi patron kelompok santriwan/santriwati senior terhadap yang junior, dan bentuknya beragam: mulai dari menekan psikis, menghina, mengancam, mengambil barang, melakukan kekerasan fisik, dan sebagainya.


Seperti halnya kekerasan penganiayaan yang dialami Muhammad Faudzan Pahlevi dengan tersangka Naufal Fadhlurrahman   yang terjadi dalam lingkup pondok pesantren  Sd Golden Ad, Dhuha, Juma'at 28 Oktober 2022, sekitar pkl 20:00 wib. Sehingga mengakibatkan bagian wajah serta bagian bawah kupingnya terluka. Meskipun kedua belah pihak sudah membuat surat kesepakatan damai, tetapi kekerasan fisik dan penganiayaan adalah perbuatan melanggar hukum sesuai pasal 351 KUHP. 


Menanggapi kasus penganiayaan kekerasan ini, Endro Yulianto S.E Ketua DPC REPDEM Kota Tangerang  mengatakan banyak dari kasus-kasus kekerasan di Pesantren tak serta merta langsung tersebar dan diketahui oleh publik. 


"Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini. Pertama, kondisi lingkungan Pondok Pesantren yang relatif tertutup terhadap dunia luar. 


Kedua, akses santriwati/santriwati terhadap saluran informasi di luar -termasuk fasilitas digital dan internet- juga cenderung dibatasi.


Ketiga, kejadian kekerasan di lingkungan Pesantren cenderung dinormalisasi dengan dalih kaderisasi senior terhadap junior ataupun penegakan kedisiplinan di lingkungan Pesantren.


Keempat, kalaupun ada kasus kekerasan serius yang terjadi di Pesantren, pihak pengelola maupun pengasuh Pesantren lebih berupaya untuk menutup-nutupi kasus tersebut, dengan alasan "menjaga marwah dan nama baik Pesantren".


Dan yang terakhir, walaupun ada santriwan/santriwati yang menjadi korban kekerasan, mereka para korban tersebut cenderung tidak menceritakannya kepada orang tua atau pengajar pesantren karena berbagai alasan. Misalnya karena merasa malu dan takut dianggap "lemah" atau "cupu", khawatir semakin ditindas oleh pelaku, serta khawatir permasalahannya akan berbuntut panjang dan menjadi lebih rumit," ungkapnya.


Tak jarang santriwan/santriwati korban kekerasan pun akhirnya lebih memilih keluar atau tidak melanjutkan studinya di Pesantren dengan alasan "tidak betah tinggal di Pesantren" atau "merasa tidak kuat bila tinggal jauh dari orang tua".


Lebih lanjut ia menegaskan Kehidupan santriwan/santriwati di Pesantren memang terus berjalan setiap waktu, 1x24 jam dalam sehari. Kebanyakan dari Pesantren-pesantren telah membuat sistem grup atau kelompok mentoring santriwan/santriwati yang diampu oleh seorang pengajar atau Wali untuk membimbing santriwan/santriwati.


Namun menurut nya yang jelas mentor ataupun Wali santriwan/santriwati tidak selalu hadir intens sepenuh waktu mengawasi kehidupan santriwan/santriwati di masing-masing kamar asramanya. Artinya, pengawasan kehidupan santriwan/santriwati di Pesantren tak sepenuhnya dapat bekerja secara maksimal dengan cara ini, apalagi mengawasi dan mencegah potensi terjadinya kekerasan di kalangan santriwan/santriwati.


Endro Yulianto, S.E memandang sejauh ini, belum ada perangkat hukum yang holistik untuk mencegah dan menghapus praktik kekerasan di lingkungan pesantren. Kementerian Agama RI sebagai Badan Pemerintahan yang berwenang mengawasi satuan pendidikan pesantren, hingga saat ini belum menerbitkan dan mengesahkan Peraturan Menteri yang berkaitan dengan pencegahan dan penghapusan praktik kekerasan di lingkungan Pesantren.


Untuk itu, Ketua DPC REPDEM  Kota Tangerang inipun meminta kasus ini segera di usut.


Serta meminta kementerian Agama sudah seharusnya segera menerbitkan aturan  peraturan pencegahan dan penghapusan praktik kekerasan di lingkungan Pesantren. Dengan adanya Peraturan tersebut, maka Pesantren dapat menjadikannya sebagai rujukan, dan dapat mengimplementasi aturan tersebut di lingkungannya masing-masing.


Selain itu, Pesantren-pesantren di Indonesia perlu juga untuk meningkatkan kesadaran hukum mengenai pentingnya mengadopsi dan menerapkan Undang Undang Hak Asasi Manusia maupun Undang Undang Perlindungan Anak ke dalam peraturan internal ataupun SOP (Standar Operasi Prosedur) Pesantren. Dua Undang Undang tersebut adalah dasar hukum bagi upaya perlindungan hak anak, serta mencegah adanya praktik kekerasan terhadap Santriwan/Santriwati di Pesantren yang masuk kategori anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.


Kekosongan aturan hukum dapat berarti bahwa Negara telah gagal menjamin hak rasa aman bagi peserta didik yang tinggal di lingkungan Pesantren. Dan bagi Pesantren yang tidak memiliki perangkat SOP pencegahan kekerasan yang memadai, juga berpotensi terseret pertanggungjawaban hukum pidana perlindungan anak.


Pemerintah harus segera meninjau ulang izin operasional Pesantren yang tidak membuat SOP pencegahan kekerasan, mengingat akan menjadi sangat berbahaya bila suatu Pesantren menjalankan aktivitasnya namun tidak memiliki perangkat pencegahan praktik kekerasan yang memadai.


Bagaimanapun juga, perangkat-perangkat hukum pencegahan kekerasan di Pesantren sangatlah diperlukan bagi keberlangsungan pendidikan pesantren hari ini.


Dengan begitu, Pesantren dapat secara konsisten menerapkan nilai-nilai ideal dalam ajaran Agamanya dan menjadi contoh bagi masyarakat sebagai pembawa pesan perdamaian dan anti kekerasan di masyarakat pungkasnya. 


(Tim/Red)