Beberapa waktu yang lalu, Bumi Sumekar dihebohkan dengan terjadinya peristiwa Sexsual Crime yang sempat memancing antusiasme masyarakat. Ironinya, kasus tersebut terjadi di sebuah lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi pioner terdepan untuk membersihkan kejahatan-kejahatan seksual hingga ke akar-akarnya.
Sejatinya, kasus semacam ini sudah sering terjadi di Bumi Jokotole. Termasuk maraknya pembegalan alat vital kaum perempuan yang juga sempat viral hingga mencipta rasa takut masyarakat. Dan jangan dilupa, masih terngiang di ingatan kalau kasus Sexsual Crime juga pernah terjadi di salah satu pulau di Sumenep.
Darurat Sexsual Crime, Salah Siapa?
Apakah peristiwa Sexsual Crime ini akan benar-benar menjadi paradoks di Bumi Sumekar? Sebagai kabupaten asri yang kental dengan moralitas ala ulama dan santri. Serta kiblat rasa malu dan harga diri ala Pak Sakera yang tak lekang oleh masa. Akan tetapi, kalau kasus ini benar-benar darurat, maka Sumenep harus mulai berbenah diri.
Paling tidak, pemerintah daerah beserta masyarakatnya harus bahu membahu melakukan pencegahan. Sumenep harus dikembalikan pada atmosfer moral spiritual ala pesantren serta kembali membudidayakan rasa malu sebagai bagian dari kajian Andhap Asor yang sempat menjadi kebanggaan.
Mungkinkan Ini Penyebab Darurat Sexsual Crime
Nah, kalau kita sudah sepakat untuk memberangus Sexsual Crime dari Bumi Garam Sumenep, maka langkah pertama kali yang harus dilakukan adalah ketahui dan pelajari penyebab-penyebabnya. Ini penyebab yang dimaksud:
1. Masif-nya Penggunaan Smartphone
Pada dasarnya tidak ada hubungan langsung antara smartphone dengan kecenderungan orang untuk melakukan kejahatan seksual. Karena tidak bisa dipungkiri, di dalam perangkat anak teknologi ini juga terdapat hal-hal yang positif yang juga layak dikonsumsi oleh siapapun.
Akan tetapi, tidak juga bisa dilupakan, kalau di smartphone juga terdapat konten-konten yang tidak pantas dilihat. Apalagi bagi mereka yang tidak memiliki keimanan kuat atau yang memang memiliki abnormalitas seksual di dalam psikologi-nya. Di sisi lain, konten di smartphone juga tidak di-filter dengan baik sehingga mereka yang di bawah umur pun masih bisa membukanya dengan mudah.
2. Hilangnya Ketabuan sebagai Hak Moralitas
Di jaman dulu, ketabuan masih dianggap sebagai hak moralitas. Sehingga, jangankan melakukannya di luar norma, membicarakannya saja dianggap sangat terlarang. Tetapi sekarang semuanya menjadi nisbi. Bahkan anak kecil saja sudah pintar mengucapkan kata-kata yang jorok entah darimana mereka mendengar dan mempelajarinya.
Tentunya sebagai hak moralitas yang tidak dipenuhi, maka efek negatifnya akan kembali kepada yang bersangkutan. Lebih jauh dari itu, rasa malu pun akan menyerang orang di sekitarnya. Sedangkan kalau diseret ke yang lebih komunal, masyarakat pun akan mendapatkan imbasnya.
3. Adanya Pergeseran Nilai Budaya
Tidak bisa dipungkiri, kalau jaman ini merupakan jaman yang kental dengan pergeseran nilai budaya. Salah satunya budaya pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Dulu di Sumenep, pergaulan semacam ini sudah diatur di dalam norma yang tidak tertulis yaitu pantang laki-laki bertamu ke rumah perempuan apalagi di malam hari.
Sekarang jangankan hanya bertamu, bahkan banyak orang tua yang justru mengizinkan putrinya keluar bersama temannya di malam hari. Sejatinya sampai di titik ini, budaya masih tetap tegak berdiri. Namun sayang nilainya telah porak poranda. Ya, budaya tanpa nilai tak lebih hanya kebiasaan yang akan memicu terjadinya amoralitas.
4. Identitas Pergaulan Lebih Utama daripada Jati Diri Rasa Malu
Penyebab yang terakhir adalah identitas pergaulan dianggap lebih utama daripada jati diri. Maksudnya adalah, seseorang sudah menjadikan kebanggaan relasi kuasa di dalam lingkungan masyarakat sekalipun itu harus melanggar rasa malu. Contohnya adalah orang tua yang senang bahkan bangga putrinya tidak menutup aurat demi alasan modis dan fashionable.
Padahal rasa malu adalah jaminan personal tidak diganggu terutama kalangan perempuan. Hanya peristiwa gerakan Feminisme di Amerika Serikat pada tahun 1800an membuat rasa malu ini menjadi hilang. Lebih sayang lagi, Bumi Sumekar pun ikut-ikutan.
Mari Selamatkan Generasi Sumenep dari Sexsual Crime
Untuk itu, mari selamatkan anak cucu kita. Merekalah yang akan menjadi pioner terdepan untuk mencegah terjadinya peristiwa Sexsual Crime di Bumi Sumekar dan Madura pada umumnya. Namun ini tidak akan pernah terealisasi jika tidak ada kerjasama seluruh pihak yang peduli.
Hanya kalimat ajakan inilah yang saat ini menjadi harapan dan doa terindah. Demi satu hasrat, Bumi Sumekar lepas dari jargon negatif “Darurat Sexsual Crime”. Semoga juga peristiwa memilukan ini tidak akan pernah terjadi lagi di lain waktu. (Ags)