Denny Felano Ketua Bidang Hukum PN AMK |
JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), pada hari Kamis tanggal 02 Maret 2023 lalu. Gugatan itu merupakan gugatan perdata terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dalam putusan atas gugatan 757/Pdt.G/2022 yang dilayangkan 8 Desember 2022, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan KPU menunda Pemilu 2024.
Menurut saya selaku Ketua Bidang Hukum Pimpinan Nasional Angkatan Muda Ka’bah (PN AMK) bahwa gugatan yang dilayangkan Partai Prima tersebut bersifat gugatan perdata.
Gugatan ini terkait dengan perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Bukan pula gugatan yang berkaitan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara. Sehingga, dalam gugatan perdata itu, yang bersengketa adalah penggugat (PRIMA) dengan tergugat (KPU) dan tidak menyangkut pihak lain. Artinya putusan dalam sengketa perdata hanya mengikat kepada penggugat dan tergugat saja.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada pasal 173 ayat 1 menyebutkan bahwa partai politik peserta Pemilu yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.
Dan apabila terdapat sengketa proses Pemilu, maka dalam sistem penegakan hukum Pemilu serta penyelesaian sengketa prosesnya telah diatur dalam ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 pada pasal 470 dan 471 melalui Pengadilan Tata Usaha Negara setelah upaya administratif di Badan Pengawas Pemilu dijalankan.
Putusan wewenang merupakan konsep yang inti dari hukum administrasi. Sebab, Sengketa Tata Usaha Negara merupakan sengketa hukum publik.
Putusan Peradilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Putusan Peradilan Tata Usaha Negara ini juga disebut “erga omnes”, artinya daya berlaku putusan tersebut mengikat secara publik, di samping mengikat para pihak yang bersengketa (inter pares), juga mengikat bagi siapapun di luar pihak-pihak yang bersengketa.
Oleh karenanya, sependapat dengan Prof. Mahfud MD yang menuturkan bahwa “Perbuatan melawan hukum secara perdata tidak bisa dijadikan objek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu”. Sebab, mekanisme dalam pelaksanaan pemilu telah diatur oleh konstitusi yang berlaku.
Adanya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut sangatlah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam ketentuan Pasal 22E ayat 1 yang menyebutkan bahwa Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga menegaskan dan tidak ditemukannya adanya nomenklatur penundaan pemilu. Namun, hanya dikenal dengan istilah Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 431 hingga Pasal 433 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Kewenangan memutus penundaan pemilu berada di tangan KPU. Adapun keputusan penundaan pemilu didasarkan atas gangguan keamanan, bencana alam, kerusuhan, atau gangguan lain yang dapat mengganggu tahapan pemilu.
Oleh sebab itu, jelas sekali putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini merupakan “ultra vires” atau yang diterjemahkan “di luar kuasa” yang sejalan dengan kedudukan dari perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut yang seharusnya dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena memiliki kewenangan pada ranah sengketa tersebut, dan bukan merupakan kompetensi dari Pengadilan Negeri manapun termasuk Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menunda pemilu sebagaimana yang telah diatur dalam konstitusi.
Senada H. Rendhika D. Harsono, BSBA, Msc selaku Ketua Umum Pimpinan Angkatan Muda Ka’bah (PN ANK) juga sependapat bahwa dimana Putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menunda pemilu tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia serta sangatlah membuat kegaduhan di tengah masyarakat Indonesia yang sangat ini sedang bersiap – siap menyambut pesta demokrasi pada Pemilu Tahun 2024 nanti.
Menurut kami keputusan Putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menunda pemilu merupakan inkonstitusional sehingga wajib dilawan bersama.
Kami juga menyerukan kepada KPU agar melakukan upaya hukum Banding melalui Pengadilan Tinggi.
Kami menyakini KPU akan menang pada upaya hukum banding tersebut karena secara hukum putusan hakim dalam perkara No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst berwatak dan bersifat “ultra vires” atau dengan kata lain “beyond the power”.
Sehingga konsekuensi yuridisnya dari status putusan yang demikian ini tergolong “null and void” atau bersifat “van rechtswege nietig” atau “null end void” yang tidak dapat dieksekusi, hal ini menjadi penting untuk melindungi kesisteman pada kerangka hukum Pemilu di Indonesia. (Ibra)