SERIKATNASIONAL - Pernah mendengar istilah 'Perik Sidua-dua'? Nah kali ini kita tidak akan mengkaji istilah itu, melainkan akan menelisik tentang filmnya 'Perik Sidua-dua' ini. Dalam waktu dekat, akan tayang perdana Film Terkeren yang pernah ada di Indonesia dengan judul Perik Sidua-dua dilansir dari salah satu portal berita online lidinews.id.
Hal ini berangkat dari spirit lagu Perik Sidua-dua yang diciptakan seniman bermarga Barus, yaitu Rahmatsys Barus berasal dari Barusjahe kini tinggal di Tiga Panah.
Lagu ini berangkat dari kisah keterpesonaan Rahmatsys Barus menatap keindahan sosok perempuan Karo di pantai Pangandaran ketika masa kuliah di tahun 1981.
Daya tarik perempuan Karo di tanah Sunda yang membawa Rahmatsys Barus pada kenangan tanah leluhurnya.
Diksi dalam lagu Perik Sidua-dua “Lawes kin pe aku, Kudatas uruk meganjang, Kenang man tatapenku agingku, Lawes kin pe aku, Ndalani dalan singgendang, Kenang man daramenku mesayang” (pergi pun aku, ke atas perbukitan, kamu yang mau kulihat, pergi pun aku, Berjalan di jalan yang panjang, Kamu yang kucari yang kukasih) itu dapat membawa kita kembali pada eksodusnya orang-orang dari Barus pantai barat, naik ke dataran tinggi Dairi (Huta Usang), mendaki Gunung Sibuaten hingga tibalah ke Ajinembah.
Tim Produksi Film Layar Lebar Perik Sidua-dua mengelola kisah perjalanan Marga Barus ke dalam proses shooting film.
Perik Sidua-dua Project merupakan Promosi Pariwisata Danau Toba dan Tanah Karo dengan kearifan lokal, terinspirasi dari lagu daerah yang termanifestasi dalam seni pertunjukan Sinematografi Teater dan produksi Film Layar Lebar.
Kehidupan masyarakat Karo yang bertumbuh kembang di Kawasan Karo Volcano Park melahirkan berbagai bentuk kebudayaan.
Potensi wisata Danau Toba di bagian utara; Tongging sekitarnya masih kurang dikenal wisatawan.
Padahal wilayah ini memiliki keistimewaan dan keunikan yang dahsyat. Hal ini terjadi karena penggerak wisata kekurangan narasi dan kreatifitas mengenalkan ke masyarakat luas.
Sisi lainnya, Tongging adalah wilayah terjadinya harmonisasi peleburan budaya empat etnis dalam praktek kehidupan sehari-hari; Karo, Toba, Simalungun dan Pak-Pak. Kita dapat menyaksikan berbagai keunikan proses peleburan ini, terutama ketika mereka saling berinteraksi.
Mempromosikan dengan cara menyusuri Tongging dan 21 destinasi wisata itu membutuhkan Pemandu atau Guide Wisata yang memiliki pengetahuan, wawasan, pengalaman dan keahlian menjelaskan serta berinteraksi dengan wisatawan dari berbagai bangsa.
Pemandu wisata mesti muncul dari masyarakat itu sendiri yang memahami bau udara, tanah dan air kampung kelahirannya.
Mesti lahir pemandu wisata dari masyarakat karo itu sendiri, yang nantinya akan menghapus pameo bahwa guide itu adalah profesi yang tabu di tanah Karo, apalagi kalau pemandu wisatanya seorang perempuan.
Untuk melahirkan para pemandu wisata yang memiliki pengetahuan dan keahlian berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang-orang berlatar kebudayaan yang berbeda tentunya membutuhkan proses kolaborasi dari berbagai elemen masyarakat. Masyarakat yang tumbuh dan hidup di tanah Karo akan jadi fondasi kuat untuk tata kelola pariwisata.
Artinya kita harus hadir bersama masyarakat dengan segala bentuk dinamikanya untuk menumbuhkan kepercayaan diri bahwa mereka adalah tuan rumah yang layak menyambut tamu dari berbagai bangsa.
Kesadaran untuk mandiri dan berjuang di tanahnya sendiri akan mengikis mental ketergantungan terhadap proyek-proyek kebudayaan dari luar.
Sebuah terobosan dan Gerakan pembaharuan harus dilakukan bermodal spirit orang-orang Karo yang dinamis menggerakkan seluruh potensi yang ada di tanahnya.
Sebuah travel wisata adalah keniscayaan yang harus dibangun untuk melahirkan para pemandu wisata yang memahami seluk beluk tanah kelahirannya sendiri.
Membangun travel wisata dapat mendorong percepatan tersedianya infrastruktur lalu lintas, sosial, budaya, yang kesemuanya menunjang perkembangan wisata di tanah Karo.
Bila seluruh infrastruktur dapat terbangun tentunya pembangunan ekonomi kreatif berbasis Karo Volcano Park dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Karo.
Penayangan film layar lebar psdd ini diharapkan bisa mengubah stigma negatif yang selama ini melekat erat di tengah tengah masyarakat karo mengenai guide itu adalah hal yang tabu.
Nah, Peran si Jilena dalam film yang menggambarkan sosok gadis Karo bercita-cita membangun destinasi wisata di kampung kelahirannya akan menjadi inspirasi generasi muda untuk menekuni profesi Pemandu Wisata Kawasan Karo Volcano Park.
Kemudian proses produksi Film Layar Lebar ini diawali dengan menggali dan mengelola potensi-potensi lokal yang ada di Sumatera Utara dan Aceh berbasis metode dan pola kerja teater.
Ada 30-an orang yang diasah potensinya secara intensif dan terukur selama 45 kali pertemuan. Ini semata-mata untuk menunjukkan aktor dan aktris dari daerah dapat menjadi bintang, walau mereka belum pernah bermain dalam Film Layar Lebar.
Setelah produksi Film ini akan memacu inisiatif insan perfilman dan teater untuk membangun sanggar film dan teater.
Dalam memproduksi Film Layar Lebar ini kita bergerak dari jalan yang lain. Kita tidak menggunakan pola produksi Production House Film yang sudah mapan.
Hal ini dilakukan karena sedari awal garis produksi yang dirancang adalah sebuah jalan baru; upaya menerobos kebekuan teori dan sistem kerja produksi Film yang tidak memberi ruang pada potensi lokal untuk menjadi ‘’tuan rumah di rumahnya sendiri’’.
Metode latihan Teater menjadi kawah candradimuka bagi para aktor/aktris yang disiapkan bermain film layar lebar. Sebelum mengikuti shooting film, para calon aktor/aktris ini wajib bermain di Pertunjukan Sinematografi Teater. Dengan begitu setelah proses produksi Film Layar Lebar ini akan bermunculan aktris dan aktor yang anti mainstream.
Film ini juga secara otomatis mempromosikan banyak destinasi wisata Karo Volcano Park dan Geopark Kaldera Toba yang ada di dalam film. Ada 22 destinasi wisata yang tervisualkan yang akan memikat banyak wisatawan, baik lokal maupun mancanegara untuk berkunjung di destinasi- destinasi wisata tersebut.
Hal lainnya, film ini juga akan semakin mendekatkan dan menyatukan dataran tinggi Karo dengan Danau Toba, artinya turut mendukung perwujudan Program Super Prioritas Pemerintah.
Aktifitas travelling semakin semarak, baik dilakukan warga yang pulang kampung maupun wisatawan dari berbagai bangsa.
Promosi wisata Danau Toba dan Karo Volcano Park dengan karya Film Layar Lebar Perik Sidua-dua merupakan sebuah Grand Design. Menghadirkan film yang mampu mendongkrak popularitas destinasi wisata di Kawasan tersebut lewat karya audiovisual yang sinematik.
Film ini berkisah antara Pemandu wisata dengan tamunya orang Belanda di kawasan Tongging sekitar, dibalut dengan budaya dan adat istiadat yang khas "Sipitu Huta", mewakili 4 etnis lokal Sumatera Utara ; Toba, Simalungun, Pakpak dan Karo.
"Tanahnya Kabupaten Karo, adat istiadatnya Simalungun, Budaya Tepi Danau Budaya Toba dan kuat pengaruh Pakpak", merupakan ciri khas "Sipitu Huta".
Untuk selengkapnya anda boleh kunjungi akun Instagram @gegehpersada_film dan @teaterrumahmata
Sumber : Lidinews.id