Oleh : Fiola Novita Uli Arta Sitorus (Ketua DPK GMNI Universitas Dr. Soetomo Surabaya)
Perempuan dalam politik umumnya masih dilihat dalam kerangka pemikiran patriarki dan peran gender tradisional. Politik merupakan salah satu aspek dari kehidupan sosial yang diatur dengan nilai-nilai maskulin seperti agresif, kompetisi, berkaitan dengan kehidupan publik, dan pembuatan keputusan yang dianggap lebih pantas untuk laki-laki.
Perempuan seringkali terperangkap dalam bingkai politik patriarki yang mengatur struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan, tidak bisa dipungkiri dikalangan masyarakat, perempuan selalu diposisikan pada peran domestik dan reproduksi. Hal tersebut menyebabkan munculnya rekayasa kultur dan tradisi yang menciptakan pelabelan atau streotipe tertentu pada perempuan yang telah mengakar kuat dalam masyarakat. Berbagai hambatan dan diskriminasi sering terjadi, patriarki membatasi akses perempuan untuk terlibat secara aktif dalam proses politik.
Persepsi yang melekat pada perempuan adalah peran sebagai wilayah kedua setelah lelaki. Secara jelas memiliki jalur yang judgement, dengan tendensi orang kelas dua yang seharusnya di rumah dan bertabur dengan konsumerisme, hedonisme dalam cengkraman kapitalisme. Anggapan perempuan sebagai mahluk lemah memberikan asupan pemikiran bahwa perempuan tidak sepatutnya bergelut dengan dunia politik yang penuh dengan kekerasan dan dialektika kekuasaan. Perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan membuat kebijakan tegas karena patron yang telah membentuk perempuan sebagai mahluk perasaan, artinya perempuan tidak dapat memberikan keputusan ketika menggunakan sisi perasaan dalam menilai sebuah keputusan.
Ketika pemerintah menetapkan Undang-Undang Pemilu tentang 30% representasi perempuan dalam setiap partai politik, membuat terbukanya peluang bagi perempuan untuk terjun ke dunia politik. Namun kenyataannya tidak mudah untuk perempuan dalam menggeluti dunia politik karena begitu banyak rintangan dan tantangan yang harus di hadapi perempuan saat menjadi calon anggota legislatif. Seperti yang dikatakan oleh Gubernur Jawa Timur Ibu Khofifa Indar Parawansa dalam tulisannya bahwa kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias ke arah membatasi peran perempuan pada urusan rumah tangga.
Ketika parlemen Indonesia yang pertama dibentuk, perwakilan perempuan di lembaga itu bukan karena pilihan rakyat, tetapi pilihan dari pemuka-pemuka gerakan perjuangan, khususnya bagi mereka yang dianggap berjasa dalam pergerakan perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia sampai pada zaman orde baru, ketika perempuan hanya diberikan status sebagai pendamping suami, organisasi perempuan terbesar waktu itu, yaitu PKK dan Dharma Wanita tidak memberi kontribusi dalam pengambilan keputusan politis, tetapi lebih menjadi alat pelaksanaan program pemerintah yang selalu cenderung Top Down.
Dalam Podcastnya Najwa Shihab kita bisa melihat bahwa prespektif masyarakat Indonesia mengenai budaya patriarki masih sangat kental, dimana kita sebagai perempuan disuruh memilih antara bekerja atau menjadi ibu rumah tangga, pertanyaan tersebut secara langsung meng underestimate bahwa perempuan bisa melakukan segalanya dalam bidang apapun. Kebanyakan perempuan hanya dinilai dari wajah atau keelokan tubuh saja bukan dari expertise yang dimilki.