JAKARTA,- PERANG Israel-Iran kali ini melibatkan setidaknya 16 negara berbeda dan mencakup serangan pertama dari wilayah Iran terhadap Israel, Amerika bersikeras bahwa tidak akan ada perang yang lebih luas, namun sebagai respons terhadap serangan drone dan rudal Iran pada hari Sabtu lalu, Amerika menerbangkan pesawat dan meluncurkan rudal pertahanan udara dari setidaknya delapan negara, sementara Iran dan proksinya menembakkan senjata dari Irak, Suriah, dan Yaman.
John Kirby, juru bicara keamanan nasional Gedung Putih, mengatakan bahwa Amerika akan terus membantu Israel mempertahankan diri, namun tidak ingin berperang dengan Iran.
“Kami tidak menginginkan peningkatan ketegangan di kawasan ini dan tidak menginginkan konflik yang lebih luas,” katanya.
Dunia sepertinya selama ini fokus pada lalu lalang kapal induk dan jet tempur sebagai “pencegah” terhadap Iran, tapi ternyata jika diperhatikan Amerika diam-diam telah membangun jaringan pertahanan udara.
“Atas arahan saya, untuk mendukung pertahanan Israel, militer AS memindahkan pesawat dan kapal perusak pertahanan rudal balistik ke wilayah tersebut. Berkat pengerahan ini dan keterampilan luar biasa dari prajurit kami, kami menghancurkan hampir semua drone dan rudal yang masuk,” demikian sabda Presiden Joe Biden Sabtu (13/4/2024).
Secara total, tercatat sekitar 170 drone, lebih dari 30 rudal jelajah, dan lebih dari 120 rudal balistik diluncurkan ke Israel pada Sabtu malam. Secara keseluruhan, pasukan Amerika bertanggung jawab atas lebih dari 100 intersepsi terhadap drone dan rudal Iran, demikian menurut para pejabat Israel.
Serangan Israel di Damaskus merupakan pelanggaran berat terhadap hukum internasional dan merupakan sebuah tindakan agresi yang ultra mencolok. Seharusnya Amerika paham jikapun Iran merespons dengan cara yang sama, bereaksi terhadap serangan terhadap fasilitas diplomatik mereka, maka itu karena Iran sedang berada dalam pihak yang membela diri dan kedaulatannya.
Amerika Serikat seharusnya tidak membantu membela aliansinya yang melancarkan serangan awal, dan lebih parahnya, wilayah kedaulatan Iran di negeri orang! Jika pemerintah lain melancarkan serangan seperti ini terhadap fasilitas diplomatik AS dan sekutunya, dipastikan Washington akan menuntut pembalasan super keras tanpa ijin PBB dan mengecam serangan itu sebagai terorisme.
Karakteristik Negara Di Asia Barat Daya Atau Timur Tengah
Philip Carl Salzman, Profesor Antropologi di McGill University, menyatakan bahwa: Perdamaian tidak mungkin terjadi di Timur Tengah / Asia Barat Daya disebabkan adanya nilai-nilai masyarakat dan tujuan ‘’selain perdamaian’’ yang lebih penting bagi masyarakat ini, dimana yang paling penting bagi mereka adalah kesetiaan terhadap sanak saudara, klan, dan serta meraih kehormatan yang didapat dari kesetiaan tersebut. Karenanya, hubungan antar kelompok keturunan pada prinsipnya selalu bersifat oposisional, dan suku-suku secara keseluruhan memandang diri mereka bertentangan dengan suku-suku lain.
Disebabkan nilai tersebut, bahkan pemimpin besar sekelas Sultan Suleiman Agung di era Kesultanan Utsmaniyah tidak pernah mencoba membagi wilayah tersebut dengan atau melalui garis demarkasi.
Yerusalem menikmati status khusus pada masa pemerintahan Islam, karena status keagamaannya. Maka itu kenapa Yerusalem diperintah oleh Ottoman selama 400 tahun (1516-1917). Tetapi, Kesultanan Ottoman secara resmi dihapuskan pada tahun 1923.
Sementara itu, pemerintah Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour demi menggalang opini Yahudi, khususnya di Amerika ke pihak Sekutu melawan Blok Sentral pada PD I. (1914–18).
Presiden Harry Truman bersimpati kepada Zionisme dan mendukung rencana pemisahan Palestina yang dilakukan PBB pada tahun 1947 untuk membentuk negara Arab dan Yahudi dan mengakui Negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948.
Dokumen Balfour sendiri sejak awal lahirnya sudah sangat kontroversial dikarenakan 3 hal:
Persis seperti yang dikatakan oleh Edward Said, “dibuat oleh kekuatan Eropa di wilayah non-Eropa…” tentunya bermasalah.
Deklarasi tersebut merupakan salah satu dari tiga janji yang dibuat oleh Inggris pada masa pertentangan kala itu. Karena ketika negara ini ingin dibebaskan, Inggris telah menjanjikan kemerdekaan kepada Arab dari Kesultanan Utsmaniyah pada 1915. Saat yang sama Inggris juga menjanjikan kepada Perancis, yang kemudian dikenal sebagai perjanjian Sykes-Picot tahun 1916, dimana dalam deklarasi ini berarti bahwa Palestina akan berada di bawah kekuasaan pendudukan Inggris dan orang-orang Arab Palestina yang tinggal di sana tidak akan memperoleh kemerdekaan.
Deklarasi tersebut memperkenalkan gagasan yang belum pernah ada sebelumnya dalam hukum internasional – yaitu terminologi ‘national home’ yang sepertinya dibuat sengaja untuk membiarkan maknanya terbuka untuk ditafsirkan.
Patut untuk kembali diingat, bagi negara-negara yang tidak memiliki monarki atau institusi politik yang kuat, maka dipastikan ISIS akan masuk untuk berkuasa dan mengeksploitasi kekuasaan seperti yang terjadi di Irak, Suriah, dan Libya dan untuknya ISIS melakukan kejahatan serius terhadap kemanusiaan.
Jadi, meskipun pencapaian besar Presiden Trump dengan tercapainya Kesepakatan Abraham dan normalisasi disertai dengan visi yang lebih besar untuk reformasi sosial dan ekonomi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko mengupayakan perjanjian perdamaian sebagai bagian dari upaya regional mereka semata untuk melawan mobilisasi ekstremis.
Karenanya ketika Al Jazeera menyatakan sebagian besar negara-negara muslim ternyata diperintah oleh penguasa yang korup, otokratis, lalim, dan tidak baik. Berharap indonesia akan ‘melakukan sesuatu yang signifikan’ karena alasan mayoritas muslim terbesar, akan menghadapi jalan yang panjang dan curam di dalam negeri.
Maka yang bisa dilakukan Indonesia adalah mendorong PBB untuk mengambil alih sumber dari semua permasalahan, yaitu negara biang kerok Inggris dan Perancis serius memikirkan solusi dari masalah dasarnya, yaitu Balfour Declarations.
Jadi, fokus penyelesainnya bukan terpatri pada negara-negara Islam dan negara-negara Asia Barat Daya itu sendiri, tapi mengembalikan kepada dua negara bekas penjajah dan akar penyebab terbesar perang ini.
Skenario Terburuk Dan Tantangan Yang Dihadapi Dunia
Jika melihat koalisi Sunni yang sedang membentengi Israel melawan Syiah Iran hari ini, maka jika Rusia segera berhasil merebut Odessa (di ujung batas merah dan biru pada geopolitik laut hitam) akan membuat Ukraina terputus pada akses ke dan dari Laut Hitam, dimana artinya Russia mampu menguasai penuh akses di sisi utara Laut Hitam.
Untuk itu dampaknya adalah akses ke Laut Hitam hanya akan tersisa pada dua pertarungan besar Russia versus Turki (yang saat ini sedang mengecilkan kubu Erdogan) ditambah dampak pengaruh pada negara segitiga Georgia, Armenia, Azerbaijan (arsiran warna kuning).
Dengan demikian, adalah logis bagi Russia sebenarnya untuk mendorong konflik Israel sebagai benteng Sunni, versus benteng Syiah Iran serta Suriah dan kemudian menggeser konflik tersebut ke arah Laut Persia. Situasi ini juga akan mendorong Russia berpeluang mendorong Aliansi Iran -Turki – Suriah yang kini berubah menjadi Aliansi Iran – Suriah, karena Turki disinyalir sedang merubah haluan 180 derajat, untuk kemudian mengarahkan konflik ke arah Separatisme Turki di bagian Timur dan mencapai strategi berikutnya yaitu Suriah tidak terkepung oleh Aliansi Turki – Irak – Yordania.
Karenanya, terbentuknya Aliansi Israel dari benteng Sunni yang terjadi beriringan dengan gelombang potensi terbentuknya Aliansi NATO – Turki, akan membuka peluang Russia menghindari konflik di Laut Hitam terhadap Turki – NATO, dengan kemudian menggeser perang yang terjadi antara Iran dan Israel ke arah perang ‘kuno’ antara ideologi yaitu Sunni versus Syiah
Maka, hanyalah persoalan waktu Perang Laut Persia tahapan ini kemudian akan diikuti dengan ulah Kabul (Afghanistan) dan Islamabad (Pakistan) yang segera juga akan akan mengguncang Geopolitik India Raya (India – Pakistan – Bangladesh), dimana diprediksikan akan memuncak pada Perang Laut Andaman, kemudian Perang Laut Asia Tenggara dan Perang Laut Kuning. Maka di titik ini, Israel, China, dan seharusnya
Indonesia, yang sebenarnya punya kepentingan sama dalam mempertahankan wilayah kedaulatan serta kemerdekaannya dari issue separatis Palestina, separatis Xinjiang – Taiwan – Hong Kong – Tibet, dan separatis Papua. Dititik ini, polugri dan diplomasi Indonesia betul betul harus mumpuni, alias sekaliber era kepemimpinan Soekarno – hatta.Hatta
Palestina Dalam Pembukaan UUD 45 Kemampuan Unsur M Serta D Indonesia
Pembelaan Indonesia terhadap Palestina dari penjajahan Israel merupakan implementasi dari pembukaan UUD 1945. Intinya mengecam segala bentuk kolonialisme dan berkomitmen membawa perdamaian serta meneruskan sikap tegas Presiden Soekarno.
Sebenarnya, kita menjadi negara yang cukup special atau ‘aneh’ karena membebani masalah rumah tangga kemerdekaan negeri lain yang jauh pada UUD kita. Tetapi karena kita telah dan terus memilih bersepakat untuk itu, maka Indonesia dituntut untuk konsekuensi pada dampak Pembukaan UUD tersebut dengan siap secara politik, militer, diplomasi, dan finansial.
Harus dicatat, indonesia tidak mempunyai kemampuan memproyeksikan kekuatan militer sejauh itu. Belum lagi kita kalah persenjataan yang harus dimiliki setidaknya untuk menggelar kekuatan mendukung diplomasi Indonesia saat ke PBB sehingga tidak hanya sekedar berakhir ‘omon-omon’.
Apa yang harus dimiliki Indonesia berhubungan erat dengan kekuatan armada Laut Hijau dan Biru yang harus dimiliki Indonesia sebagai negara Poros Maritim Dirgantara dan Daratan Dunia yang diteriakan Presiden Jokowi tetapi tidak pernah diwujudkannya. Artinya kita harus mempertanyakan alat utama system senjata, doktrin, pelatihan, infrastructure dan logistic seperti apa yang harus dimiliki, dikendalikan dan dikuasai oleh TNI AL, TNI AU dan TNI AD?
Untuk menjadi bangsa berkarakter dan mampu secara secara konkrit bertanggung jawab dalam mewujudkan perintah UUD maka Indonesia harus memiliki kemampuan dan pembangunan postur terkait al, baterai rudal permukaan-ke-udara Patriot dan Terminal High Altitude Area Defense jarak jauh Angkatan Darat untuk dikerahkan dari negara negara seperti Irak, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Arab Saudi, Yordania. Aset-aset ini – harus ditambah pesawat TNI AU yang bisa berbasis di Kuwait, Yordania, UEA, Qatar, dan Arab Saudi –untuk berkomunikasi dan memberikan perlindungan terhadap Palestina dan pangkalan regionalnya).
Patut diingat yang akan dihadapi Indonesia adalah kekuatan AU Amerika beserta kelompok aliansi besarnya semisal Inggris Bersama barisan negara NATO yang terikat dengan jaringan perang ini. Kemudian Indonesia harus masuk dalam bagian dari jaringan perang regional bersama negara negara Timur Tengah dengan kapabilitas yang mampu mengambil bagian dari kelompok tempur kapal perang sekelas USS Dwight D. Eisenhower (CVN 69). Kapal sekelas ini memainkan peran penting dalam menggagalkan serangan. Kapal-kapal tersebut harus dilengkapi dengan rudal permukaan-ke-udara standar jarak jauh dan sistem senjata jarak dekat seperti Phalanx, dan Gatling yang berfungsi sebagai garis pertahanan terakhir terhadap serangan Israel dan aliasninya, dimana kapal kapal ini harus mampu artinya melakukan operasi ofensif dan defensif di wilayah tersebut dari mulai Laut Merah dan seterusnya
Karenanya Indonesia juga harus memiliki barisan kapal perusak sekelas USS Gravely milik Amerika untuk melakukan operasi pertahanan dan ofensif yang mampu menargetkan rudal balistik anti-kapal, selain juga harus memiliki dan mampu menggelar kapal penjelajah berpeluru kendali yang harus dapat berfungsi sebagai pusat komando dan kendali pertahanan udara utama. Kesemuanya tentunya wajib didukung oleh barisan pesawat tempur terkini, terbaru, tercanggih serta berkemampuan melakukan serangan siluman dibantu dengan pesawat pesawat dukungan logistic termasuk bagi pengisian bahan bakar pesawat pesawat TNI Angkatan Udara yang mungkin ditempatkan di Qatar dengan dijamin mampu melakukan misi terbang di atas wilayah aman. Ini baru sekedar memenuhi elemen M.
Secara diplomasi Indonesia harus memiliki pemimpin bangsa dan jajaran diplomat sekelas Presiden Clinton dimana beliau melakukan lebih dari 175 panggilan telepon kepada para kepala negara dunia untuk mendukung langsung proses perdamaian dan ditambah 6 kunjungan ke wilayah yang bergolak tersebut, selain menjadi tuan rumah sejumlah pertemuan puncak di Indonesia untuk memajukan proses perundingan tersebut,
Elemen D Indonesia dapat didahului dengan perundingan antara dua negara berseteru, KTT dan diikuti penandatanganan deklarasi sekelas Deklarasi Washington di tahun 1994 antara Israel dan Yordania yang mampu mengakhiri perang dan bagaimana kemudian Indonesia juga harus mampu membawa 2 kepala negara bertikai dalam penandatanganan Prinsip-prinsip Deklarasi seperti di tahun 1993 Amerika melakukannya secara bersejarah dengan menutupnya pada jabat tangan antara Perdana Menteri Rabin dan Yasser Arafat.
Pada akhirnya, jatidiri dan karakterlah yang akhirnya dapat membuat perbedaan. Kita telah melihat sepanjang sejarah umat manusia bahwa negara-negara bangkit, berkembang, memperoleh kekuatan, dan mengatasi tantangan tantangan besar pada akhirnya dengan kekuatan karakter mereka. Dan untuk itu, maka pelajaran dari eskalasi perang Iran Israel kali ini, adalah dengan memaknai mendalam arti Pembukaan UUD 45, dimana Indonesia harus merenungkan kembali karakter bangsa dan harga yang harus dibayarkan jika kehilangan jati diri dan karakter bangsa tersebut.
16 April 2024, St. Petersburg, Rusia
Penulis: Dr Connie Rahakundini Bakrie, ahli pertahanan dan intelejen, mengajar di St. Petersburg, Rusia