Oleh : Ki Demang Nur
Opini (Serikatnasional.id),- Judul opini ini sengaja saya pilih karena relevan dengan kondisi sosial politik yang berjalan ditengah masyarakat belakangan ini. Opini ini bukan berarti mendukung gerakan #2024 Ganti Pemimpin, juga bukan pula mendukung kepemimpinan seseorang yang masih aktif memegang jabatan. Karena saya lebih sreg dengan politik jalan tengah.
Yang saya tekankan dalam opini ini adalah mencermati kecenderungan sekelompok golongan elit yang ternyata masih banyak yang ingin menjadi priyayi : masuk kabinet, mendapat pangkat, dan seterusnya. Apalagi dimana saat ini ada kesejajaran yang sangat mengkhawatirkan di negeri kita ini antara jabatan dan kekayaan. Persepsi menjabat berarti kaya sudah merasuki pikirannya sekelompok elit politik.
Godaan menjabat itu menjadi gabungan antara godaan tahta dan harta. Gejala ini sangat mengkhawatirkan dan sudah seharusnya kita secara terus-menerus menanamkan kembali ide mengenai sikap kritis sampai tiba saatnya di mana seseorang merasa terhormat jika menjadi oposisi. Merasa terhormat berada di luar pemerintahan dan merasa terhormat tidak mempunyai derajat atau pangkat seperti yang pemahaman yang lazim dalam masyarakat yang dijiwai oleh feodalisme absolut.
Oposisi tidak perlu dipahami sebagai sikap menentang (to oppose memang berarti menentang) alias petentang petenteng. Sebab dalam memahami sikap oposisi kita ada sisi positifnya, to support-nya, sehingga dalam konteks politik, oposisi lebih merupakan kekuatan penyeimbang yang berperan sebagai check and balance, yang bisa menyalurkan perasaan dan gagasan yang tersumbat.
Pada dasarnya, perlunya oposisi bisa dimulai dengan suatu postulat yang sederhana sekali, yaitu bahwa masalah sosial dan politik tidak bisa dipertaruhkan dengan iktikad baik pribadi. Betapapun klaim orang itu mempunyai iktikad baik, yang dipertaruhkan itu adalah kehidupan orang banyak. Dan kalau sesuatu itu sudah bersifat sosial yang menyangkut orang banyak, maka itu harus dipersepsikan, dipahami, dan dipandang sebagai persoalan yang terbuka, dimana partisipasi politik masyarakat menjadi suatu keharusan.
Salah satu bentuk partisipasi politik adalah sikap oposisi, yakni suatu sikap yang diekspresikan dalam bentuk kegiatan sosial-politik yang bertujuan untuk mengingatkan, jangan sampai kita menjadi korban yang fatal untuk suatu kenyataan yang sederhana: "bahwa manusia itu tidak selamanya selalu benar dan bisa salah".
Kini kita sudah berhasil memasuki tahap paling penting dalam kehidupan sosial-politik, yaitu memasuki transisi menuju demokrasi. Tetapi, dibandingkan dengan tahap-tahap sebelumnya, ini merupakan tahap paling sulit, karena menuntut banyak sekali persyaratan, yang apabila kita renungkan akan terdengar sebagai klise, bahkan streotipe, seperti misalnya perlunya kedewasaan politik, kesanggupan menerima perbedaan, dan menyelesaikan perbedaan itu di dalam batas-batas keadaban politik, bahkan keadaban itu sendiri.
Monggo disruput kopinya !
Sumenep, April 2024