Dr.Connie Rahakundini Bakrie Analis Pertahanan Militer dan Intelijen |
JAKARTA (Serikatnasional.id),- Dewan Perwakilan Rakyata (DPR) telah resmi menyetujui revisi Undang-Undang (UU) TNI dan revisi UU Polri menjadi usul inisiatif dewan legislatif.
Pasca, diusulkan menjadi RUU usul inisiatif, kedua revisi UU tersebut menuai polemik karena berisi pengaturan yang bertentangan dengan semangat reformasi.
Misalnya dalam draf revisi UU TNI Pasal 47 ayat (2) menyatakan bahwa "Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung, serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden.
Terkait hal tersebut, Dr.Connie Rahakundini Bakrie Analis Pertahanan Militer dan Intelijen, saat dihubungi melalui pesan singkatnya kepada media Kamis (12/7/2024), menilai ada beberapa issue yang mungkin belum sempat ditimbang antara lain :
1. Pemahaman yang tidak lazim akan MOOTW/OMSP. Ada kata yang diabaikan yaitu OPERASI.
Artinya tidak bisa tanpa alasan urgensi, tidak bisa bersifat permanen atau tanpa batas waktu ops.
2. Akan muncul issue terkait pelibatan hingga issue MRO dan readiness alutsista TNI untuk tugas utamanya.
3. Dilain sisi, sistem Komando dalam militer yang masuk dalam institusi sipil akan dapat melahirkan masalah budaya dan psikologis bagi kedua kubu.
ALAT PERALATAN
1. Adaptasi Non tempur: untuk tugas MOOTW kendaraan militer untuk transportasi, konstruksi, atau bantuan medis, mungkin akan rumit secara logistik dan mahal.
2. Issue pemeliharaan : Peralatan yang digunakan mengalami kondisi peningkatan keausan, padahal readiness peralatan tersebut sangat penting untuk keberhasilan misi utama/perang TNI.
3. Mengalihkan sumber daya militer ke MOOTW dapat mengganggu ketersediaan peralatan untuk peran tempur dan berdampak pada kesiapan militer secara keseluruhan.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, juga berpandangan terkait hal tersebut, ia pun mengatakan, prinsipnya kalau TNI aktif bisa bekerja dimana saja sesuai keinginan Presiden, TNI itu sudah menjadi seperti warga sipil lainnya.
"Jelas ini bertentangan dengan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara," ujar Lucius saat dihubungi awak media Minggu (07/7/2024).
Ditegaskan Persoalanya TNI aktif sebagai prajurit, sudah pasti akan tunduk pada hirarki militer. Ia tak bisa begitu saja mengabdi pada lembaga sipil dan tunduk pada hirarki lembaga sipil dimana ia bergabung.
"Pasti ada persoalan dalam hal koordinasi yang membuat TNI sudah pasti tak bisa bekerja di instansi sipil," terang Lucius.
Formappi juga menyoroti TNI dengan organisasi pertahanannya tentu akan terganggu ketika banyak prajurit aktifnya bekerja di lembaga sipil.
Hal itu menimbulkan pertanyaan bagaimana tanggungjawab pertahanan masih bisa diandalkan ketika TNI yang seharusnya bertugas untuk itu justru sibuk dengan urusan kekuasaan sipil.
Dan yang paling penting, praktik TNI bisa bekerja dimana saja itu yang di era reformasi ditentang hingga melahirkan pemisahan antara TNI dan Polri sekarang.
Ini dimaksudkan agar fungsi kedua lembaga itu tak bisa dicampur aduk dan agar TNI fokus pada bidang pertahanan saja.
"Biarkan sipil untuk urusan pekerjaan yang menjadi ranah sipil," tandasnya.
Disamping Itu revisi UU Polri akan semakin memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak untuk memperoleh informasi, serta hak warga negara atas privasi, terutama yang dinikmati di media sosial dan ruang digital.
"Pasal 16 ayat (1) huruf q, dimana kewenangan kepolisian bertambah ya sampai ke ruang siber," pungkasnya.
(D.Wahyudi)