Oleh: Saiful Huda Ems.
JAKARTA (Serikatnasional.id),- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan institusi penegakan hukum yang selama ini menjadi dambaan rakyat. Karenanya jangan heran, sejak berdirinya KPK dalam perannya sebagai pemburu koruptor, selalu mendapatkan tempat tersendiri di hati rakyat. Tengoklah, setiap KPK berhasil menangkap koruptor-koruptor, secepat kilat rakyat turut gembira dan merasa lega, karena "Tikus" Negara berhasil ditangkapnya. Dan biasanya berita tentang penangkapan koruptor oleh KPK, langsung diviralkan oleh netizen tanpa dikomando.
Sejak resmi dibentuk pada masa Pemerintahan Megawati Soekarno Putri pada tahun 2002, KPK mengalami pasang surut pencapaian-pencapaiannya, kadang terang kadang pula gelap laksana keadaan istana. Terang berarti kinerja KPK nya benar, progresif, berhasil menangkap bandit-bandit negara yang sangat dibenci rakyat. Gelap berarti kinerja KPK yang menurun akibat disalah gunakan oknum yang ada di dalamnya. Kini di dalam tubuhnya sering muncul intrik dan kuat dugaan KPK dikendalikan oleh penguasa, sehingga kesannya penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK seperti tebang pilih, atau meminjam istilahnya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt penegakan hukum selektif.
Contoh penegakan hukum tebang pilih atau selektif itu seperti ada menteri yang sudah sempat diperiksa oleh Kejaksaan Agung selama 13 jam karena diduga korupsi izin ekspor minyak sawit mentah dan turunannya, termasuk minyak goreng, tapi karena sang menteri mau jadi kacung istana, penuntasan kasusnya tidak dituntaskan. Ada contoh lainnya lagi tentang penegakan hukum tebang pilih atau selektif itu, misalnya dua orang putra presiden (Gibran dan Kaesang) pernah dilaporkan oleh akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yakni Ubeidilah Badrun ke KPK pada Senin (10/1/2024) terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) serta kolusi dan nepotisme, namun proses hukumnya tidak pernah terdengar lagi sampai detik ini.
Situasi KPK yang gelap seperti ini menjadikan orang bertanya-tanya, kenapa KPK sekarang bisa berubah seperti demikian? Adakah kekuatan tertentu yang telah menjadikan marwah KPK menjadi redup tak lagi bersinar? Banyak sekali kasus yang terjadi di internal KPK pada akhir-akhir ini, mulai dari dijadikannya KPK sebagai sarang pemerasan, banyaknya pungutan liar, hingga dipecatnya ketua KPK saat itu, yakni Firli Bahuri karena diduga telah memeras koruptor SYL. Firli juga sudah ditetapkan sebagai tersangka, karena konon Firli telah membocorkan kasus gratifikasi dan proyek-proyek strategis yang melibatkan putra dan menantu Sang Nepotis.
Karena situasi KPK yang gelap seperti itu dan orang-orang semakin penasaran dengan apa yang sekarang terjadi di internal KPK, orang-orang yang telah terbiasa mengamati sepak terjang KPK mulai berusaha mencari-cari, siapa sesungguhnya pejabat KPK yang berperan aktif meredupkan marwah KPK ini? Adakah ia berhubungan langsung dengan kekuasaan yang pernah tercatat sebagai pelemah KPK melalui revisi UU KPK? Ini sangat mungkin terjadi mengingat KPK yang dahulu sangat digdaya, power full, elegan kok tiba-tiba jadi institusi yang memble, loyo dan hanya mau mengurusi kasus suap ecek-ecek Harun Masiku ke oknum komisioner KPU?. Pun kasusnya sebenarnya sudah lama lagi, tahun 2020.
Sungguh saya sampai terkejut sekali, kenapa seorang Presiden V, yakni Ibu Megawati Soekarno Putri sampai jengkel dan marah, serta berteriak lantang dan menantang langsung penyidik KPK yang bernama Rossa Purbo Bekti. Kalau kita mau telusuri lebih dalam, apa alasan sebenarnya dari Ibu Megawati sampai semarah itu pada Rossa, ternyata bukan hanya karena Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto dan stafnya (Kusnadi) diperlakukan sewenang-wenang oleh penyidik KPK Rossa. Saat itu Rossa menyamar, membohongi, merampas barang milik PDI Perjuangan yang penuh dengan rahasia Partai. Rossa juga melakukan intimidasi dan memeriksa Kusnadi 3 jam tanpa surat panggilan.
Namun analisis saya, Megawati marah karena lembaga yang dia dirikan diturunkan marwah KPKnya oleh sosok seperti Rossa. Dalam pandangan Megawati, KPK adalah sebuah institusi penegak hukum yang sudah mulai dihancurkan oleh Rossa dari dalam, melalui cara-caranya menyidik orang dengan melanggar hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Bagaimana tidak, setelah AKBP Rossa main rampas Handphone dan tas serta buku catatan PDIP milik Hasto dan stafnya pada bulan Juni lalu, di tanggal 3 Juli 2024, Rossa bersama penyidik KPK lainnya mendatangi rumah salah satu pengacara PDIP, yakni Donny Tri Istiqomah yang berada di Jagakarsa Jakarta Selatan. Rossa dan para petugas KPK lainnya menggeledah seluruh isi rumah Donny dan menyita 4 alat komunikasi (handphone). Anehnya dua dari handphone itu milik istrinya Donny yang tidak ada sangkut pautnya dengan kasus suap Harun Masiku. Donny sendiri merupakan pengacara PDIP yang pernah menjadi saksi perkara Harun Masiku, yang sempat memberi kesaksian di Pengadilan TIPIKOR di Jakarta Pusat pada 23 April 2020.
Apakah harus sebringas itu Rossa memperlakukan seorang pengacara? Ingatloh, Advokat dalam menjalankan tugas dan kewenangannya itu dilindungi oleh Undang-Undang Tentang Advokat. Ia tidak bisa diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum lainnya, karena advokat itu juga penegak hukum (ingat Catur Wangsa-Pen.). Penyidik Rossa bahkan melakukan intimidasi dan mencoba melakukan gratifikasi hukum terhadap Donny. Dihadapan istri dan anak-anaknya yang masih kecil dengan sombong Rossa menggertak:
"Kamu mau mengubah berita acara atau masuk penjara?. Jika kamu nurut saya, anak dan istri serta rumah kamu saya yang urus. Tetapi jika tidak nurut, hari Rabo kamu saya panggil ke KPK dan langsung saya penjarakan !", kira-kira seperti itu substansi pokok intimidasi Rossa pada Donny. Cara-cara seperti inilah yang tidak hanya melanggar HAM, namun juga sudah sangat keterlaluan.
Bayangkan seorang Rossa melakukan intimidasi dan iming-iming gratifikasi hukum , suap kekuasaan untuk perbuatan melawan hukum, agar Donny merubah Berita Acara dan juga kesaksiannya di persidangan sebelumnya yang sudah incraht, ini benar-benar sudah keterlaluan, melampaui batas kewenangannya sebagai Penyidik KPK. Lalu siapa yang di belakang Rossa? Kenapa Rossa sampai berani bertindak seperti hakim yang mengancam Donny untuk dipanggil ke KPK dan mengancam akan langsung memenjarakannya? Ini yang harus dicari. Publik harus menekan KPK agar penyidik yang main hukum tersebut, dapat disingkirkan untuk menjaga marwah KPK.
Jadi tidak heran rasanya seorang mantan Presiden V dan seorang putri proklamator marah besar dan menunjuk hidungnya langsung AKBP Rossa. Bagaimana tidak KPK yang dahulu didirikannya mati-matian bersama para akademisi-akademisi hebat di negeri ini yang memberikan sumbangsih pemikiran, sekarang wibawa institusinya nyaris hancur lebur hanya karena prilaku oknum Penyidik KPK yang sudah melampaui batas. Sungguh, saya dan para dosen-dosen saya dahulu, yang sangat berkeringat untuk memberikan masukan-masukan pada Pemerintahan Ibu Megawati Soekarno Putri bagi berdirinya KPK melalui berbagai penyelenggaraan Seminar-Seminar Nasional, tidak terimah jika KPK mulai diacak-acak !.
Oleh karena itu, kami memohon pada Dewan Pengawas KPK agar segera mencari dan mengumpulkan informasi-informasi penting mengenai Rossa ini, siapa orang yang telah mengendalikannya dari luar KPK? Apa kepentingannya? Dan jika sudah ditemukan, kami mohon Dewan Pengawas KPK segera mengeluarkan Rossa dari institusi atau lembaga KPK ! Kami ingin KPK kembali terang benderang dan tidak bekerja dalam kegelapan yang berpotensi dikendalikan kekuatan dari luar KPK ! KPK bukan alat penekan politik kekuasaan untuk membungkam orang-orang yang bersikap kritis pada kekuasaan !. Waktupun terus bergerak dan saya meyakini kini Rossa makin terpojok sendirian !...(SHE).
11 Juli 2024.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Pengamat Politik.