Iklan

https://www.serikatnasional.id/2024/10/blog-post.html

Iklan

,

Iklan

Sabotase Demokrasi dari Tangan Rakyat oleh Ellite Politik

SerikatNasional
23 Agu 2024, 18:48 WIB Last Updated 2024-08-23T11:48:21Z

 


Oleh : Dia Puspitasari,S.Sosio.,M.Si, 

Dosen Ilmu Komunikasi UNTAG Surabaya


OPINI, SERIKATNASIONAL.ID |Demokrasi merupakan salah satu sistem universial yang digunakan di banyak negara. Namun dalam penerapannya, antara satu negara dengan negara lainnya berbeda sistem demokrasi yang dianutnya. Sistem demokrasi di Amerika Serikat berbeda dengan sistem demokrasi di Perancis, begitupula sistem Demokrasi di Australia dan Inggris juga memiliki perbedaaan dalam konsepsi demokrasi berdasarkan sistem budaya, sistem ekonomi, sistem sosial yang dianutnya. Jelas hal inilah menentukan sistem demokrasi apa yang akan dijalankan di negara tersebut.


Konteks Sistem Demokrasi di Indonesia dimaknai sebagai suatu sistem politik yang menekankan bahwa pemerintahan yang terbaik berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat memiliki kedaulatan penuh untuk memilih siapa yang patut berada di parlemen dan siapa yang patut dipilih sebagai presiden. John Stuart Mill menyatakan bahwa demokrasi juga memberikan kesempatan bagi rakyat untuk bertanggung jawab dan dewasa dalam menyikapi problematika Kebangsaan. Artinya, rakyat bertanggungjawab atas pilihannya pada suatu pemilihan umum. Rakyat dapat mengeluarkan pendapatnya dalam berbagai bentuk aksi, misalnya membuat petisi (tulisan berbentuk opini dsb), aksi dalam bentuk demonstrsi jika wakil yang dipilih oleh rakyat di parlemen ataupun presiden tidak menalankan mandat rakyat dengan baik. Namun, bisa juga rakyat salah dalam membuat pilihan pada masa pemilihan umum. Hal ini tentunya terjadi karena pada saat kampanye begitu menggiurkan jani-janji politik yang dibuat oleh para calon legislative maupun calon presiden atau kepala daerah. Selain itu, bisa juga karena pendekatan etnis (suku dan agama misalnya) yang dilakukan oleh para calon. 


Perlu digarisbawahi bahwa kesadaran atas pilihan baru muncul setelah anggota legislatif, kepala daerah bahkan presiden sudah berada di singgasana masing-masing. Dinamika sistem demokrasi di Indonesia sangat pesat, bahkan berkembangnya demokrasi para elite politik yang secara konseptual digagas oleh Olle Tornquist bahwa Demokrasi Kaum Penjahat, artinya sabotase demokrasi dari tangan rakyat oleh kaum elite. Rakyat hanya digunakan oleh para elite politik untuk mendapatkan keabsahan dan legitimasi untuk menjalankan pemerintahan dan kepentingannya. Sebatas mengatasnamakan rakyat, namun penerapannya kepentingan elite politik itulah yang dikedepankan bukanlagi perbijak pada kepentingan rakyat.


Fenomena Demokrasi Kaum Penjahat ini pernah dipaparkan dalam makalah Olle Tornquist pada Seminar Internasional bertajuk Crafting Indonesian Democracy yang diselenggarakan oleh Ohio State  University pada awal reformasi 1998. Intinya, bahwa reminder kebangsaan bahwa jangan sampai Indonesia pasca orde baru sistem yang begitu otoriter berubah dan justru masuk ke dalam kubangan Demokrasi Kaum Penjahat ala Olle Tornquist. 


Secara historis, Demokrasi Kaum Penjahat terjadi karena abad pertengahan sampai abad modern para elite politik memiliki posisi yang lebih tinggi daripada rakyat. The Ellite sebuah konsep dari Vilvredo Pareto atapun The Ruling Class konsepsi dari Gaetano Mosca, sama-sama menekankan bahwa elite politik atau kelas penguasa memiliki kekuasaan berlebih dibandingkan kekuasaan rakyat. Mereka (elite politik ataupun the ruling class) memiliki Lembaga Think Tank (Tangki/Pusat Pemikir) yang menyiapkan bentuk kampanye, data yang akurat dan kebijakan politik. Para elite juga memiliki kekuatan sosial, politik, ekonomi yang berlimpah untuk mempengaruhi pikiran yang bermuara pada pilihan rakyat.


Secara psikologis, para elite politik juga memiliki kekuatan pengetahuan untuk memanipulasi pilihan rakyat. Vilvredo Pareto bahkan menyebutkan bahwa tak ada pergantian kekuasaan dari elite ke rakyat yang terjadi adalah pergantian kekuasaan dari satu elite politik ke elite politik lainnya. Dalam Bahasa Pareto bahwa “Change of regime, revolutions, and so occur not when rules are overthrown from below, but whe one elite replaces another. Inilah sebuah konsep sirkulasi elite. Para elite harus siap bahwa pada suatu saat isa bisa menjadi the ruling elite ot the ruling class, pada saat bersamaan ia menjadi non-governing elite.

Ellite juga bisa memanipulasi pikiran dan gagasan politik ekonomi rakyat. Bahwa sebagaimana pendapat Marx and Engels “Marx and Engels argue that the prevailing ideas of particular society are formed by the ruling class to express and justify their position. This contrasts the view that ideas and alues within a society exist separarely from political pr economical leadership”. 


Perlu digarisbawahi bahwa kepentingan para elite walaupun mereka berbeda ideologi maka akan bertemu pada satu titik kepentingan yang sama.


Kontekstualisasi sistem demokrasi di Indonesia dapat kita lihat pada Ketua Hakim Konstitusi Suhartoyo yang memimpin sidang putusan uji materi Undang-Undang Pilkada di Gedung MK, Jakarta, Selasa 20 Agustus 2024 kemarin. Dalam putusan tersebut MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada, bahwa partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD. Dalam undangan yang beredar, aksi ini digerakkan oleh keprihatinan terhadap kondisi sabotase demokrasi di Indonesia yang disebutkan mengalami degradasi moral dan etik secara drastis. Berbagai aksi keprihatinan serentak telah dilakukan di beberapa kampus baik di perguruan tinggi mapun swasta. Ada semacam sabotase demokrasi rakyat oleh elite dan pelanggaran terhadap konstitusi. 


MK telah memutuskan untuk mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Putusan ini diajukan oleh Partai Buruh dan Gelora. Namun, keputusan tersebut menuai kritik keras dari berbagai kalangan, yang menilai ada upaya untuk mensabotase demokrasi dan melanggar prinsip-prinsip konstitusi. "Putusan MK vs Revisi UU oleh DPR telah menjadi problem konstitusional yang serius." Dia menilai bahwa situasi ini mengingatkan pada ketegangan serupa di masa lalu, ketika MK dituding sebagai lembaga yang rentan terhadap intervensi politik. Ketegangan politik ini menunjukkan bahwa krisis kepercayaan terhadap lembaga negara terus berlanjut. Hal tesebut memperkuat keresahan masyarakat terhadap arah demokrasi Indonesia ke depan.


Penting kita pahami bahwa Pemimpin besar revolusi Indonesia, Bung Karno pernah menyampaikan gagasan Vivere Pericoloso pada tahun 1964 silam, sebagai bagian dari pidato kenegaraan pada peringatan HUT ke-19 RI. Tahun Vivere Pericoloso (Tavip) pada intinya adalah tahun di mana revolusi Indonesia yang semestinya berjalan ke arah lebih baik, justru terhambat oleh ranjau-ranjau subversif yang ingin menggagalkannya. Kondisi dan situasi inilah terjadi tepat pada tahun 2024 saat Presiden Indonesia dipimpin Raja Jawa yang sangat tidak njawani. Ranjau-ranjau subversif ini bisa berupa gerakan kontra revolusi berbasis pelanggaran norma hukum dan etik. Bahkan lebih dari itu, gerakan kolonialis baru yang diboncengi para imperialis modern, dan gerakan mendua yakni mereka bersuara lantang mendukung revolusi, namun di sisi lain jauh di lubuk hati mereka memiliki agenda tersendiri yakni sabotase demokrasi dari rakyat oleh elite politik. Tentu dengan sangat gamblang, Bangs aini dipertontonkan tidak pentingnya persamaan ideologis bagi elite saat ini, terpenting  adalah sebatas tercapainya kekuasaan abadi.


Sehubungan dengan adanya dugaan bahwa DPR RI melakukan langkah yang melanggar dan atau menginjak konstitusi dengan adanya upaya mengutak-atik keputusan MK harusnya Presiden Republik Indonesia mengeluarkan DEKRIT PRESIDEN:


1.Bubarkan DPR RI Karena telah melanggar dan atau menginjak2 Konstitusi


2.Segera melaksanakan Pemilu Legislatif memilih anggota DPR RI baru, menggantikan seluruh anggota DPR RI yang diduga telah melanggar dan atau menginjak2 konstitusi


3.  a. Tutunkan harga, 

     b. Hapus oligarki dan monopoli

     c. Permudah masyarakat agar bisa                       bekerja dan berusaha