Artikel, Serikatnasional.id | Dia pernah menjadi orang nomor satu di bumi Nggahi Rawi Pahu. Memimpin kurang dari lima tahun. Saya mengenalnya, tapi dia tidak mengenal orang awam seperti saya. Saya bukan pendukungnya, apa lagi pernah berada di lingkaran tim suksesnya.
Saya juga bukan simpatisannya. Yang saya tahu dia pemimpin di tempat saya berpijak. Sementara saya hanyalah anak desa yang melihat para pemburu kekuasaan dari jauh dengan sesekali menarik ulur layar handphone demi mengupdate info terbaru.
Yang saya tahu dia adalah bupati terpilih. Saat menjabat, saya cukup sering melihat wajahnya berseliweran di media sosial. Ia di kelilingi banyak ajudan dimana pun kakinya melangkah. Di hormati banyak orang. Selalu mendapat sambutan penuh hangat dari orang-orang dimana pun dia berada.
Bahkan tidak jarang acara tidak boleh di mulai sebelum dirinya datang. Saat datang, semua orang berdiri dan menyambutnya penuh antusias, walau sempat molor karena menunggunya. Tidak ada yang marah. Tidak ada yang berani protes dan mempertanyakan keterlambatannya. Hal itu dianggap kesalahan biasa.
Saat di puncak kekuasaan dirinya serupa magnet yang menyedot banyak perhatian. Banyak orang yang menyanjungnya. Memujinya setinggi langit. Tidak sedikit yang ingin dekat dengannya. Setiap kalimatnya ditafsirkan perintah bagi bawahannya. Ketika sidak, ia nampak ditakuti. Jika ia melihat kesalahan sedikit pun dari bawahannya, ia memiliki kewenangan untuk menegur bahkan menggantinya dengan orang lain.
Kini dirinya berbeda. Sudah tidak lagi berkuasa, setelah kalah saat pemilihan daerah serentak di 27 November 2024 tahun lalu. Mayoritas masyarakat lebih memilih penantang dari pada petahana. Ia harus rela melepas kekuasaannya. Kini dirinya tenggelam di tengah hingar bingar kekuasaan yang baru. Ia tak lagi mendapatkan sanjungan. Tak ada lagi senyum sapa dari bawahannya. Tak ada lagi kalimat perintah yang sekejap direspon. Mereka yang dulu mendekat, perlahan menjauh bahkan melupakannya.
Liputan media untuknya tak seramai dulu. Ia tenggelam bersama lajunya waktu. Yang tersisa hanyalah kesetiaan dari mereka yang tulus, tanpa memandang fulus. Ia kembali dalam pelukan orang-orang terkasih. Keluarga yang penuh dengan kehangatan. Menerima apa adanya dirinya, tanpa syarat dan protes.
Dia hanya tahu ketika tidak lagi berkuasa yang setia hanya lah pendamping hidupnya yang selama ini selalu memberinya kehidupan. Setia mendampinginya dalam keadaan suka maupun duka. Istrinya tetap setia berada di sampingnya, walau kini hanya disibukan dengan aktivitas rumah dan usahanya yang masih berkembang.
Dia bukan kalah, tapi tak disinggahi keberuntungan. Di gelanggang politik, tidak semua bisa terbaca dengan mudah. Mereka yang datang dengan senyum merekah, tak lantas benar-benar berada di pihaknya. Bisa pula mereka menjadi duri dalam daging. Mereka nampak mendukung, tapi hatinya di pihak yang lain.
Demikian lah fakta politik, hanya kepentingan yang abadi. Jika sudah tidak ada kepentingan lagi, maka mereka menjauh. Meninggalkan, bahkan tidak sedikit melupakan. Tidak ada lagi ucapan kita adalah sahabat, saudara, dan sanak saudara.
Kini dirinya kembali menjadi warga biasa yang menikmati hari dengan harapan untuk terus tumbuh. Kalah di satu medan kehidupan, tidak lantas semua pintu kehidupan tertutup. Akan selalu ada jalan terang bagi mereka yang terus menanam keyakinan untuk berbuat bagi sesama.
Realitas kehidupan mengajarkan kepadanya bahwa sulit mengetahui mereka yang tulus bersahabat ketika sedang berada di puncak tertinggi kekuasaan. Di situ, semua orang akan datang dengan segala puja pujinya. Senyum serta rasa hormat ditunjukkan agar disebut loyal.
Tapi ketika kekuasaan itu lepas dari genggaman, maka nampak akan terang benderang siapa yang tulus dan siapa yang dulu berpura-pura setia. Kekuasaan memang menyuguhkan kepuasaan. Orang mudah terlena, padahal saat bersamaan mereka yang membenci sedang menunggu kapan ia akan terpeleset dan jatuh.
Saat menulis, tiba-tiba saja saya merenungi perbedaan pilihan yang dibangun atas fanatisme yang berlebihan dari simpatisan. Bahkan tidak jarang kawan menjadi lawan. Semua dilandaskan pada kepentingan siapa mendukung siapa. Polarisasi seperti ini memang tidak bisa dielakan dalam politik praktis. Terkadang kedewasaan karena berbeda pilihan diuji saat situasi seperti ini. Tapi sayang tidak banyak orang yang mampu melewatinya.
Semua kembali pada kepentingan masing-masing. Bukankah politik seperti itu guys? Jadi jangan baper, tetap enjoy dan menikmati kehidupan sembari nyeruput kopi hitam dan tetap melangitkan harapan.
Saya teringat satu kalimat yang pernah diucapkan oleh seorang kawan ketika mengikuti satu training organisasi tempo hari, bahwa setiap pemimpin ada massanya, dan setiap massa ada pemimpinnya.
Benar juga ya gumamku dalam diam. Kalau menurut netizen gimana?
Penulis : Suradin