Jakarta, Serikatnasional.id | R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menyampaikan pandangannya atas laporan terbaru yang dipublikasikan oleh Tempo terkait tuduhan terhadap Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad. Baginya, apa yang dilakukan oleh Tempo bukanlah bentuk kerja jurnalistik yang sehat, melainkan manuver yang berbahaya bagi marwah demokrasi.
Ketika Nama Dicatut Tanpa Bukti, dan Reputasi Jadi Taruhan.
Dalam edisi terbarunya, Tempo memuat sebuah laporan yang menyinggung keterkaitan Sufmi Dasco Ahmad dengan sebuah perusahaan di Kamboja yang bergerak di sektor kasino. Namun ironisnya, isi laporan justru mengakui tidak ditemukannya data otentik yang dapat mendukung klaim tersebut. Dengan kata lain, Tempo secara terang-terangan membangun opini tanpa fondasi fakta yang kokoh.
"Ini bukan bentuk kontrol media terhadap kekuasaan, ini justru penyalahgunaan kebebasan pers untuk mengarahkan persepsi publik kepada seseorang yang belum tentu bersalah," ujar Haidar Alwi.
Framing Tanpa Fakta: Instrumen Baru Pembunuhan Karakter.
Tempo seolah mempelopori gaya baru dalam menyusun narasi: menuliskan dugaan, menyisipkan spekulasi, dan menutupinya dengan bahasa yang seolah kritis, namun sebenarnya bersandar pada asumsi yang tidak terverifikasi. Ini bukan investigasi, melainkan insinuasi yang dikemas dalam retorika jurnalistik.
Menurut Haidar Alwi, laporan seperti ini memperlihatkan bahwa media bisa saja secara sadar atau tidak terjebak dalam narasi yang disusun untuk menggiring persepsi publik, bukan menyampaikan informasi objektif.
Media Seharusnya Mengawal, Bukan Menyesatkan.
Sebagai sosok yang aktif dalam gerakan sosial dan advokasi rakyat, R. Haidar Alwi menekankan bahwa kebebasan pers adalah elemen penting dalam kehidupan berbangsa. Namun, kebebasan tersebut bukan berarti bebas dari tanggung jawab. Ia mengingatkan bahwa setiap kalimat dalam berita membawa dampak, dan bisa menghancurkan reputasi seseorang jika disusun tanpa kehati-hatian.
“Ketika media menjatuhkan vonis sebelum pengadilan bicara, maka itu bukan lagi berita. Itu pembunuhan karakter,” ucap Haidar Alwi.
Mempertanyakan Tujuan dan Momentum.
Haidar Alwi pun mengajak publik untuk mengamati konteks politik dan sosial saat laporan itu dirilis. “Mengapa sekarang? Mengapa menjelang perubahan arah politik nasional muncul laporan seperti ini?” tanyanya retoris. Menurutnya, patut dipertanyakan apakah ada motif tersembunyi di balik publikasi tersebut apakah murni untuk kepentingan informasi, atau justru menjadi bagian dari agenda tertentu yang lebih besar.
Rakyat Butuh Kebenaran, Bukan Provokasi.
R. Haidar Alwi percaya bahwa masyarakat Indonesia saat ini semakin kritis dan tidak mudah digiring oleh narasi satu arah. Ia mengajak publik untuk tidak menelan mentah-mentah setiap informasi, apalagi jika informasi tersebut dibumbui dengan frasa seperti “belum ditemukan bukti” namun tetap disuguhkan seolah sebuah fakta.
“Kalau belum ada bukti, kenapa dipublikasikan? Jika masih dugaan, kenapa dijadikan headline?” tegas Haidar Alwi.
Antara Etika dan Sensasi.
Dewan pembina ikatan alumni ITB ini mengingatkan media agar tidak tergelincir menjadi alat untuk kepentingan sempit. “Pers harus menjadi penjaga moral publik, bukan sekadar mesin produksi sensasi. Kita butuh keberanian dalam menyuarakan kebenaran, bukan keberanian dalam memfitnah,” pungkas Haidar Alwi.
(D.Wahyudi)