Jakarta, Serikatnasional.id | Konferensi Asia-Afrika (KAA) atau yang popular dengan sebutan Konferensi Bandung,diselenggarakan 18-24 April 1955, menjadi pencapaian penting diplomasi Indonesia dan menandai dimulainya periode minat yang kuat dalam mempromosikan kerja sama antar negara-negara di kawasan tersebut.
Konferensi yang diikuti oleh perwakilan 29 negara di Asia dan Afrika ini harus diakui sebagai proyek geopolitik yang menempatkan Asia dan Afrika sebagai pusatnya. Belum pernah sebelumnya para pemimpindari begitu banyak negara non-Barat berkumpul untuk memperjuangkan tujuan bersama.
Para delegasi konferensi juga berjanji tidak hanya untuk mengambil jalan tengah dalam perang dingin saat itu, antara Timur (Soviet) dan Barat (Amerika), tetapi juga menegaskan hak mereka sendiri atas pemikiran dan tindakan yang independen.
Salah satu komunike yang penting Konferensi Bandung adalah kerja sama Selatan-Selatan atau South-South corporation untuk memajukan bidang ekonomi, politik, tehnologi, dan budaya. Kerangka kerja sama ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk membangun kembali tatanan internasional guna meningkatkan kesejahteraan dan partisipasi negara-negara di belahan dunia Selatan di arena multilateral yang saling menguntungkan.
Proteksionisme dan Perang Dagang
Dunia saat ini tentu berbeda dengan kondisi 70 tahun yang lalu. Dunia dan tatanan global kini dipenuhi narasi proteksionisme dan perang dagang yang yang berdampak pada ketidakpastian terhadap sistem perdagangan multilateral dan geopolitik.
Guncangan ini berisiko menciptakan kekacauan dan ketidakstabilan yang lebih besar di tingkat global dan regional. Tarif "timbal balik" yang dikenakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk tarif impor ke hampir semua negara, telah mendorong banyak negara dan perusahaan di seluruh dunia untuk menunda investasi dan menunggu kejelasan.
Bahkan dengan penangguhan tarif selama 90 hari oleh Trump, tidak merubah perusahaan-perusahaan besar untuk tetap hati-hati.
Cepat atau lambat, perang dagang yang digelorakan Trump akan menyudahi multilateralisme substantif menyerah pada bilateralisme yang mengintimidasi. Keadaaan ini berisiko menghancurkan tatanan internasional liberal yang telah dipelopori oleh AS sendiri pasca Perang Dunia Kedua.
Dampaknya tidak hanya akan merugikan warga AS sendiri, tapi juga menaikan perkiraan resesi global dari 40 persen menjadi 60 persen pada akhir tahun (J.P. Morgan, 15 April 15 2025). Pada aspek yang lebih luas, International Monetery Fund (IMF) juga memperingatkan risiko ekonomi global akibat tarif Trump di saat pertumbuhan ekonomi sedang lesu (Reuters, 4 April 2025).
Perang tarif Trump menyebabkan biaya manufaktur lebih tinggi, menurunnya kepercayaan bisnis, volatilitas pasar, dan gangguan rantai pasokan. Belum lagi ketidakpastian geopolitik tambahan, seperti perang di Ukraina dan meningkatnya konflik di Gaza dan Timur Tengah. Ketergantungan pada dolar AS sebagai mata uang dominan dalam perdagangan global memperburuk risiko ini.
Fluktuasi mata uang yang didorong oleh ketegangan perdagangan dan pengenaan tarif, dapat menyebabkan kenaikan harga barang impor. Akibatnya, negara-negara yang sangat tergantung pada dolar AS untuk stabilitas ekonominya akan mengalami penurunan daya beli mereka.
Jika negara-negara kuat seperti China dan Kanada dapat melakukan tindakan balasan yang setimpal ketika Presiden Trump menyerang, sebagian besar negara berkembang tidak memiliki sarana dan akan menjadi paling menderita. Asia dan Afrika merupakan kawasan yang terpukul oleh perang dagang Trump.
Bahkan Asia jauh lebih keras daripada Eropa atas tarif Trump dengan pungutan lebih dari 40 persen pada beberapa negara utama, yang mendorong negara-negara seperti Vietnam, Taiwan, dan Indonesia untuk mencari kesepakatan perdagangan baru dengan Washington. Di Afrika, Lesotho, Madagaskar, Botswana, Angola, dan Afrika Selatan merupakan negara-negara yang paling terpukul oleh “senjata tarif dagang” Trump.
Padahal selama ini kebijakan andalan AS untuk Afrika telah ditopang AGOA (African Growth and Opportunities Act), program perdagangan preferensial yang telah memungkinkan negara-negara Afrika sub-Sahara melakukan ekspor bebas tarif ke AS sejak 2000.
Memperkuat Semangat Bandung
Sebagai tuan rumah dan salah satu pencetus Konferensi Bandung, Indonesia dapat memanfaatkan momentum perang dagang saat ini untuk meningkatkan kerjasama perdagangan dengan negara-negara Asia dan Afrika yang kini dikenal sebagai Global South.
Negara-negara di belahan bumi Selatan bukan lagi negara miskin dan terbelakang seperti 70 tahun lalu. Mereka sedang bangkit, memperjuangkan keadilan dunia, kemakmuran ekonomi, dan solidaritas, sembari berupaya membangun tata ekonimi global.
BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) kini lebih besar daripada G7, dan negara-negara berkembang lebih besar dari negara-negara maju. Perluasan BRICS yang cepat menjadi BRICS+ termasuk masuknya Indonesia dan 40 negara yang menunggu sebagai anggota, membuktikan makin pentingnya negara-negara Global South di panggung dunia.
BRICS menguasai total 35 persen PDB dunia dibanding 30 persen yang dikuasi negara-negara G7 (Statista, 21 Maret 2025). Peningkatan kerja sama yang luar biasa antara negara-negara berkembang, yang dicirikan sebagai kerja sama Selatan-Selatan tidak bisa dipisahkan dengan Konferensi Bandung.
Pengaruh ekonomi yang makin besar negara-negara di belahan bumi Selatan juga telah diterjemahkan ke dalam peningkatan partisipasi dan suara yang lebih kuat dalam arsitektur tata kelola global, seperti keanggotaan di G20.
Kebijakan internasional Indonesia yang akan fokus pada Afrika, seperti disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam artikelnya di Newsweek, 12 Juni 2024, harus dijadikan peluang untuk membangun kemitraan yang sudah terjalin secara historis. Indonesia dapat memanfaatkan peluang pasar non-tradisonal ke negara-negara Afrika melalui berbagai platform yang sudah ada, seperti kemitraan Indonesia dan Kawasan Perdagangan Bebas Kontinental Afrika (AfCFTA).
AfCFTA membentang dari Café Town hingga Kairo dan dari Accra hingga Antananarivo, dan mencakup 54 negara dengan PDB gabungan sebesar US 3,4 triliun dolar. AfCFTA adalah salah satu perjanjian perdagangan paling maju secara global dan akan meningkatkan akses ke pasar Pan-Afrika, mencakup perdagangan barang, jasa, produk digital, kekayaan intelektual, dan investasi.
Indonesia juga dapat memanfaatkan Indonesia Africa Forum (IAF) yang terbentuk sejak 2015 untuk meningkatkan kerja sama perdagangan yang saling menguntungkan. Tujuh puluh tahun Konferensi Bandung, harus dijadikan momentum peneguhan kembali prinsip-prinsip historis dan realisme ekonomi kontemporer, untuk menavigasi dan mengkalibrasi strategi diplomasi Indonesia di tengah tatanan global yang mencari keseimbangan baru.
Penulis adalah Eko Sulistyo, Direktur Institute for Climate Policy & Global Politics.